Sabtu, 03 Agustus 2013

Sebuah Cerpen

Seorang pria bertubuh jangkung dan berkulit pucat duduk di hadapan sebuah meja tulis. Kepalanya menunduk ditopang lengannya yang panjang dan kurus. Punggungnya melengkung seperti udang. Buku tebal terbuka dihadapannya. Entah sudah beberapa lama ia berada di tempat itu; satu jam, dua jam, atau bahkan seharian. Ia tak bergeming hingga bayangannya mematung di dinding yang dipenuhi potongan koran, majalah dan gambar-gambar aneh lainnya. Beberapa saat berlalu dalam keheningan, pria itu meluruskan tubuhnya sambil mengarahkan pandangannya ke luar jendela, mengangkat kedua lengannya ke udara. Ia menguap dan mengosok-gosok wajahnya. Ia tertegun mendengarkan desau angin; suara kendaraan-kendaraan yang melintas di jalan raya, hiruk-pikuk tetangga dengan kesibukan mereka masing-masing, dan kicauan burung-burung ditengarai gemuruh pesawat yang terbang rendah. Sinar keemasan memantulkan biru langit cemerlang dan awan putih bagai percikan cat bertebaran di sana sini.

Ketukan keras menggema di ruangan itu. Wajah persegi kemerahan berdiri di depan pintu yang terbuka, seorang pria yang menenteng gitar bergegas melangkah masuk. Sinar matanya terang dan riang diiringi sebuah senyuman mengembang dibibirnya.

“Hey, Tom, kau kemana, kenapa tak datang?” kata pria itu seraya meletakkan duduknya di atas kursi. “Semua orang mencari-carimu.”

“Aku tidak kemana-mana kok.” Kata Tom. “Aku lagi tidak mood mau keluar.”

“Sayang sekali. Kami baru saja menikmati pesta kecil di taman. Mereka menantimu dengan puisi-puisi yang mendayu-dayu itu. Tapi kau tak menunjukan batang hidungmu.”

“Aku lagi tak ingin kemana-mana. Lagi pula, apa yang mereka harapkan? Mereka hanya tahu bersenang-senang, menghabiskan waktu untuk hal-hal yang tidak berguna.”

“Kau baik-baik saja?”

“Apa aku terlihat seperti sedang tidak baik?” ujar Tom.

“Mana ku tahu. Selama beberapa hari ini kulihat kau sibuk dengan buku-bukumu, lebih sering ku lihat kau termenung. Sedang bermasalah dengan pacarmu?”

“Ah, pacar? Apa kau pernah melihatku bersama seorang gadis?”

Ia tersenyum sembari menggeleng-geleng.

“Luar biasa.” Katanya.

“Apa?”

“Ah, tidak. Cukup aneh. Kurasa kau orang paling aneh yang pernah ku kenal.”

“Terkadang aku juga ingin seperti orang-orang lain. Menikmati kehidupan yang sebenarnya. Menikmati senja di taman, atau menerima undangan ulang tahun dan pernikahan. Sehingga ketika kau hendak pergi tidur pada malam hari, pikiranmu merasa tenang dan puas bahwa kau pernah mengalami masa-masa indah bersama seseorang. Aku sudah mencobanya berkali-kal, tetap saja aku tak bisa. Malahan aku terlihat seperti orang dungu yang berdiri bagai patung bisu di sudut gelap. Memalukan sekali. Tapi sekarang, tak ada yang lebih menyenangkan dari pada menyendiri.”

“Setidaknya kau sudah berusaha. Cobalah lagi lain waktu. Dan ku rasa kau perlu melakukan hal yang berbeda. ”

“Frans, apa yang kau cari?” kata Tom.

Pria itu memalingkan wajahnya pada Tom dengan kerutan di keningnya.

“Maksudmu?”

“Ya, maksudku, apa yang kau cari?”

“Disini?”

“Bukan. Dalam hidupmu.”

“Aneh sekali. Tentu saja aku kuliah. Setelah itu bekerja dan bila cukup beruntung, aku akan menikahi gadis tercantik dan terkaya di jagat raya ini dan memiliki perusahaan konstruksi sendiri.”

“Itu saja?”

“Untuk saat ini, ya. Kenapa memangnya? Bukankah itu rencana terhebat yang pernah muncul dalam benak seorang lelaki?”

“Ya, terkadang aku berpikir apapun yang kau lakukan dalam kehidupan, semua itu hanyalah hal yang sia-sia.” Ujar Tom.

“Kenapa kau bisa berpikir seperti itu?”

“Ya, karena apapun yang kau lakukan, bagaimanapun keadaanmu pada akhirnya akan mengalami hal yang sama. Kematian. Seluruh hidupmu dan perbuatanmu hanya akan menjadi debu yang menghilang diterpa angin dan tempatmu di dunia ini digantikan oleh orang-orang lain yang bahkan tak mengenalmu sama sekali.. Lalu kau menjadi sebuah kisah tak penting meski aku belum tahu kenapa kita harus ada disini. Setiap manusia seharusnya memiliki satu impian besar dalam hidupnya.”

“Mungkin kau benar. Tapi beginilah kehidupan. Kau hidup, lahir, melakukan segala sesuatu yang kau bahkan tak tahu untuk apa. Tapi tentu semua yang terjadi memiliki tujuan, hanya saja saat ini kita belum memahaminya.”

“Ya, mungkin saja. Tapi, coba pikirkan.” Kataku meyakinkan. “Orang-orang yang terkenal; pemikir hebat dengan filsafat yang rumit, penulis, pemusik, bahkan pemimpin dunia yang berjaya pada masanya, kau lihat sekarang, apa yang tersisa dari mereka?”

“Nama, mungkin.” sahut Frans. “Kurasa itu hal yang sepadan, bukankah mereka dikenang hingga saat ini?”

“Tentu saja, tapi menurutku ada hal yang lebih dari pada itu. Aneh juga mengenang seseorang karena kebodohan yang pernah ia lakukan, atau kekejaman dan lain sebagainya. Lagi pula uang, kekayaan, nama yang masyhur tak menjamin kebahagiaan. Uang bukanlah satu-satunya sumber kebahagiaan, ia hanya alat yang digunakan orang-orang untuk menciptakan hal-hal yang menyenangkan. Dan kau bilang uang dapat membuat orang berbahagia?”

“Aku tak bilang begitu, tapi aku pernah membaca di internet mengenai orang-orang yang mampu bertahan hidup tanpa uang sama sekali. Aku tak dapat memahami pemikiran mereka, bagaimana mungkin orang bisa hidup tanpa uang? Apalagi di zaman seperti saat ini. Aneh sekali. Tidak. Tanpa uang segala sesuatunya menjadi sangat rumit.” Kata Frans.

“Bagus sekali, kau mulai menunjukan kecerdasanmu.”

Frans mengangguk-angguk.

“Kau, apa yang kau cari?” katanya lagi.

“Aku sedang mengusahakannya. Aku ingin menjadi orang yang mengerti kehidupan terlepas dari kenikmatan dunia dan tetek bengeknya. Kau tahu, setiap orang perlu menjadi bodoh sebelum ia pandai. Dan beberapa kebodohan lain lagi agar ia mencapai titik kedewasaan.”

“Lantas bagaimana dengan impian terbesar itu?”

“Aku belum tahu. Aku tengah mencoba memahami semua yang terjadi.”

Frans menghela nafas seraya menatap sekeliling kamar yang dipenuhi buku dan kertas berserakan di rak buku, meja dan lantai.

“Tom, kau perlu sedikit udara segar.”

“Apa kau bilang?”

“Kubilang, kau benar-benar harus melihat dunia luar. Sudah hampir dua minggu lamanya kau berada dirumah terus. Keluarlah sekali-sekali. Lihatlah dunia dan kehidupannya secara langsung. Kau bisa pergi menonton bioskop, atau bersantai dikedai-kedai ditepian jalan itu. Siapa tahu, diluar sana, kau akan bertemu gadis-gadis cantik dan hal-hal menarik lainnya. Bersenang-senanglah.”

“Tak ada hal yang menarik bagiku diluar sana.”

“Aku tahu, tapi tak tersentuh matahari dalam waktu yang lalma dapat mengganggu kesehatan fisik dan mental.”

“ Jadi kau bilang aku gila?”

“Ya, mungkin saja dalam beberapa minggu ke depan.”

“Baiklah. Ku rasa kau benar juga, aku mulai bosan berada di rumah terus-terusan.” Kata Tom.

“Ya, setidaknya kau bisa menyegarkan pikiran dan meluaskan pandanganmu.”

“Frans, kau tahu dimana tempat membeli peralatan berkemah?”

“Aku tak tahu, kau tanya saja pada orang-orang dijalan.”

Tom meraih jaket yang tergantung dibalik pintu dan menutupi kepalanya dengan topi. Lantas berjalan menuju pintu.

“Kau mau kemana?”

“Seperti katamu, aku mau mencari udara segar.”

“Bagus kalau begitu. Nanti aku menyusul. Ada tempat minum baru di sudut jalan sana.”

“Ah, aku sedang diet gula.”

“Lantas, kemana?”

“Perpustakaan.” Katanya seraya berlalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar