Sabtu, 03 Agustus 2013

Uncle Sam



Paman Samuel meninggal ketika fajar hendak menyingsing pada suatu pagi di bulan Maret. Ia di temukan oleh seorang pekerja yang bertugas mengurus peternakan miliknya. Jeritan dan tangisan menggema dari dalam rumah itu. Paman Sam, begitu aku memanggilnya, merupakan seorang pria dengan karakter rumit. Dulu, ketika kecil, aku seringkali mendengar ayah dan ibu dan saudara-saudara mereka yang lain membicarakan tindakan Paman Sam yang kata mereka sangat berbeda dari kebiasaan orang di tempat tinggalku. Meski begitu, Paman Sam tetap menjalani pilihan hidupnya sebagai seorang pelancong. Yang ku tahu kemudian, ia bepergian hampir sepanjang hidupnya, mengelilingi dunia dan berkelana meski tak memiliki apapun. Hingga kemudian, tiba-tiba saja ia kembali lalu menikah dan tinggal di desa. Namun, pernikahannya tak menghasilkan anak sehingga rumahnya yang terletak di sebuah lahan pertanian di dekat hutan yang sedikit jauh dari pemukiman utama, terlihat sepi. Dengan demikian, ia sering melewatkan malam-malamnya di bar dan pulang dalam keadaan mabuk berat. Bibi Klara, istrinya, kemudian menceraikannya dan pergi ke kota lain. Paman Samuel hidup seorang diri hingga hari matinya. Bahkan mantan istrinya tak datang ketika hari ia dimakamkan. Aneh juga. 

Paman Sam pernah menunjukan padaku buku-buku yang ia peroleh selama perjalanannya mengelilingi dunia. Gambar-gambar yang menunjukan keindahan pemandangan yang tak bisa kujumpai dirumah, tapi tak sekalipun ia bercerita tentang petualangan yang telah ia alami. Suatu kali aku bertanya bagaimana rasanya ketika berada di sebuah tempat yang asing, ia hanya menjawab, luar biasa.

Aku dilahirkan di sebuah keluarga petani yang bertahan hidup  dengan menanam gandum dan jagung. Ayahku adalah seorang pensiunan tentara yang pernah bertugas di Timor Leste sebelum ia dibebastugaskan, sekaligus pemimpin gereja di kampungku. Ayah bertemu ibu ketika para tentara yang tiba di tanah air dengan kapal pengangkut pasukan. Begitu yang ku tahu dari bibi-bibiku lainnya. Beberapa tahun kemudian mereka menikah dan melahirkan dua orang saudaraku laki-laki dan aku. Mereka senang bekerja keras.

Saudaraku tertua, Philipus, sepertinya memilih menjadi seorang petani seperti ayahku. Katanya, jika berada di tengah lapangan pertanian, hatinya terasa damai dan tenang sehingga timbul semangat untuk bekerja. Dengan demikian, ayahku memberikan sebidang tanah dan mengolahnya menjadi lahan pertanian jagung. Ia tinggal di rumah yang terletak di kaki gunung, yang ia bangun sendiri bersama istrinya, seorang gadis dari kampung tetangga. Kini mereka memiliki seorang anak laki-laki berusia sekitar 3 tahun.

Saudara keduaku, yang bernama Brod, bekerja sebagai perawat di rumah sakit di kota. Ia tinggal di sebuah rumah yang nyaman, terletak di tepi danau kecil dengan pemandangan yang indah. Beberapa minggu sekali, ia berkunjung ke rumah, sekedar menjenguk atau merayakan hari-hari spesial di keluargaku, seperti ulang tahun, panen, dan sebagainya. Aku pernah datang ke tempat ia tinggal beberapa kali. Suasananya nyaman, hanya saja terlalu berisik. Aku tak tahan tinggal di sana. Dasar orang kampung, katanya padaku. 

Sementara aku, ku kira aku memiliki pemikiran yang berbeda dari mereka. Dari semua orang yang ku kenal, aku mengagumi Pamas Sam yang nyentrik. Ia seorang petualang sejati dan berkali-kali menghilang, sehingga keluarga kami kerepotan di buatnya. Buku-buku yang pernah ia tunjukan padaku, ku baca sampai habis dan ku simpan hingga saat ini. Sehingga semua pemandangan dan kisah perjalanan itu selalu terngiang-ngiang di kepalaku. 

“Apa lagi yang kau rencanakan kali ini?” kata ayahku ketika kami tengah berkumpul di rumah untuk merayakan Natal. Kedua saudaraku juga ada di sana. 

“Belum tahu, Yah.” Kataku. “Mungkin aku akan pergi ke suatu tempat di tepi laut dengan ombaknya yang besar dan pasirnya yang putih bagai salju.”

“Apa tempat seperti itu ada?” kata Brod.

“Tentu saja ada. Apa kalian tidak pernah membaca atau menonton berita?”

“Kami terlalu sibuk untuk hal-hal seperti itu.” sahut saudaraku Philipus.

“Ya, tentu saja. Kalian begitu sibuk dan melupakan pemandangan sekitar yang benar-benar indah.”

“Sudahlah, jangan berbicara tentang hal itu lagi. Itu bukan hal yang penting saat ini. Ayah punya seorang kenalan di kepolisian kota. Ayah berencana untuk mendaftarkanmu di akademi polisi.”

“Itu ide yang bagus sekali. Kau akan menyukainya.” Kata Ibuku.

“Ku rasa tidak, Yah, Bu. Mungkin setahun atau dua tahun lagi. OK?”

“Jangan bodoh.” Sahut Brod. “Lakukan saja apa yang Ayah minta.”

“Apa kau ingin menjadi Paman Samuel?”

“Apa yang salah dengan Paman Sam?” 

“Tak ada yang salah, hanya saja ia menghabiskan waktunya dengan sesuatu yang tak berguna. Percakapan ini hanya sampai di sini saja.”

Aku hanya bisa diam dan melanjutkan makanan yang terasa sangat hambar karena perasaanku yang pahit. Ibuku juga hanya diam. Mereka tak kan mengerti dengan hal-hal selain yang mereka ketahui. Aku tak bisa melawan kehendak ayahku secara terus terang. Percuma saja. Keputusan yang ia ambil tak bisa diganggu gugat, biasanya begitu. 

Malam menyelimuti padang rumput luas yang terlihat bagai bergelombang ditiup angin. Pepohonan kecil tampak gelap di kejauhan. Sementara bintang-bintang menghiasi langit tinggi di angkasa. Aku membayangkan menyaksikan malam seperti ini di suatu tempat yang jauh dari sini, di temani oleh orang-orang asing, tidur dalam kemah-kemah yang sejuk dan penuh dengan kedamaian. Bukan berarti tak ada kedamaian di rumah ini, hanya saja, aku merasa sedang diikat oleh sebuah kekuatan yang tak bisa ku lawan. Ayahku.

Aku membuka jendela dan turun ke dalam gelap menuju rumah mendiang Paman Sam. Rumah itu kini di huni oleh penjaga peternakannya yang sudah lama tinggal di di situ. Ku dapati ia tengah duduk diteras rumah di bawah bintang-bintang sambil menikmati rokok dan segelas besar kopi.

“Apa yang kau lakukan disini?” katanya ketika melihatku. 

“Cari angin.”

“Bagaimana kalau ayahmu mencari?”

“Sudahlah, Paman Robert, aku kan sudah dewasa. Bisa jaga diri sendiri.”

“Kopi?” katanya sambil mengangkat gelas besarnya kemudian meneguknya dengan nikmat.

“Rokok saja.” Sahutku.

Kami terdiam beberapa saat, saling melemparkan pikiran ke dalam angan masing-masing, sementara angin lembut berhembus menerpa rumah itu.

“Paman“ kataku. “Apakah paman mengenal Paman Sam dengan baik?”

“Ya, kami sudah berteman sejak kecil.”

“Sayang sekali, ia pergi begitu cepat, ya?”

“Lebih baik begitu.”

“Kenapa, Paman?”

“Hidup tak bisa lagi menahan keinginannya yang begitu kuat untuk pergi berkelana. Badannya sudah terlalu lemah dan pikirannya sedikit tidak beres. Mungkin saja karena terlalu lama menghabiskan waktu tanpa teman.” Katanya sambil menghirup kopi dari gelas besar bertangkai itu.

“Menurut paman bagaimana?”

“Apanya?”

“Tentang Paman Sam.”

“Oh, ya. Orang malang itu merupakan lelaki paling berani yang pernah kukenal. Kepalanya selalu dipenuhi ide-ide gila dan ia akan melakukan apa saja demi mewujudkannya.”

“Ku pikir aku tak benar-benar memahami orang tua itu.”

“Tak seorangpun yang bisa memahami sifat dan karakternya yang unik, pamanmu itu.”

“Bagaimana bisa, bukankah paman teman lamanya?”

“Ya, betul. Tapi, bagai meraba-raba di kegelapan, seperti itulah jika kau ingin memahaminya. Susah di tebak. Pemikirannya rumit dan sangat berbeda dengan orang lain.”

“Bagaimana ketika ia dulu memutuskan untuk pergi dari rumah?”

“Aku tak begitu ingat, kejadian itu sudah sangat lama, hampir 30 tahun yang lalu. Tapi ia pergi dengan impian yang begitu besar. Ia hanya mengatakan padaku tentang kapal-kapal besar dan hamparan lautan yang sangat luas dan beku. Itu saja. Aku tak tahu kemana-mana lagi ia berkelana. Ia tak pernah berkirim surat.”

“Rumit juga.” Kataku.

“Ya, seperti katamu. Rumit.”

“Paman pernah berkelana, bepergian ke tempat yang jauh?”

“Tidak.” Sahutnya. “Aku menyukai tempat ini; udaranya yang bersih, pepohonan tinggi dan damai, sehingga aku tak perlu membahayakan hidupku demi kesenangan, atau apa yang kau sebut dengan tantangan. Tidak, aku tak menyukainya. Aku terlahir di sini dan takdirku mengatakan harus tinggal di sini.”

“Paman pernah membaca buku-buku yang Paman Sam bawa kemari?”

“Ya, ceritanya bagus-bagus...”

“Gambarnya juga.”

“Betul.”

“Aku ingin seperti paman Sam.”

“Ya, kau bisa menjadi siapa saja. Namun, pilihan hidupmu tak semudah kelihatannya. Banyak hal yang harus dikorbankan.”

“Kenapa begitu, paman?”

“Karena untuk mendapatkan sesuatu, ada hal-hal tertentu yang harus dikorbankan, atau setidaknya di lepaskan.”

“Seperti ketika ia meninggalkan rumah pada waktu muda dan puluhan tahun kemudian kembali namun hidup yang ia jalani terlihat sia-sia?”

“Kau terdengar seperti ayah atau ibumu.”

“Maaf paman, aku tidak bermaksud begitu. Siapa aku yang menghakimi perbuatan seseorang?”

“Bagus kalau kau mengerti. Dengar, nak. Kehidupan tak kan berguna jika kau hanya berdiam diri di rumah dan menjalani hidupmu yang membosankan itu.”

“Maksud paman?”

“Tempat ini memang indah dan damai. Memberikan segala yang kau butuhkan dan keamanan. Kau tak perlu merasa takut atau gelisah akan hari esok karena semua telah tersedia. Dan kehidupan tampak begitu baik padamu. Ku pikir kau tak perlu menjadi seperti kedua saudaramu itu. Ketika masih kanak-kanak, pikiran mereka di penuhi oleh imajinasi-imajinasi tak berbatas. Namun, ketika dewasa, seperti yang biasanya terjadi, secara perlahan mereka melupakan pemikiran-pemikiran besar yang pernah terlintas dalam benak mereka, dan menjalani sebuah rutinitas yang tanpa sadar menghapus ingatan masa kecil mereka.”

“Apa aku akan begitu juga paman?”

“Tidak, jika kau mengerti apa yang harus kaulakukan.”

“Tapi aku masih sangat muda.”

“Paman Sam-mu juga dulu pergi ketika ia seusiamu.”

“Paman, aku tak berani memikirkan hal seperti itu. Ayahku akan membunuhku dan saudara-saudaraku yang lain akan mencemoohku. Sementara ibuku, aku tak tahan melihatnya diliputi kesedihan tiada akhir.”

“Selalu ada cara lain. Walau begitu, tinggallah di sini, nikmati malam-malam yang gelap dan sepi seperti ini saja dan suara-suara jangkrik yang membelah malam. Tambah rokokmu dan buatkan kopi lagi. Malam ini tak berbeda dari malam-malam kemarin.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar