Paman Samuel
meninggal ketika fajar hendak menyingsing pada suatu pagi di bulan Maret. Ia di temukan oleh
seorang pekerja yang bertugas mengurus peternakan miliknya. Jeritan dan
tangisan menggema dari dalam rumah itu. Paman Sam, begitu aku memanggilnya,
merupakan seorang pria dengan karakter rumit. Dulu, ketika kecil, aku
seringkali mendengar ayah dan ibu dan saudara-saudara mereka yang lain membicarakan tindakan Paman Sam yang kata mereka sangat berbeda dari kebiasaan
orang di tempat tinggalku. Meski begitu, Paman Sam tetap menjalani pilihan
hidupnya sebagai seorang pelancong. Yang ku tahu kemudian, ia bepergian hampir
sepanjang hidupnya, mengelilingi dunia dan berkelana meski tak memiliki apapun.
Hingga kemudian, tiba-tiba saja ia kembali lalu menikah dan tinggal di desa.
Namun, pernikahannya tak menghasilkan anak sehingga rumahnya yang terletak di
sebuah lahan pertanian di dekat hutan yang sedikit jauh dari pemukiman utama,
terlihat sepi. Dengan demikian, ia sering melewatkan malam-malamnya di bar dan
pulang dalam keadaan mabuk berat. Bibi Klara, istrinya, kemudian menceraikannya
dan pergi ke kota lain. Paman Samuel hidup seorang diri hingga hari matinya.
Bahkan mantan istrinya tak datang ketika hari ia dimakamkan. Aneh juga.
Paman Sam pernah
menunjukan padaku buku-buku yang ia peroleh selama perjalanannya mengelilingi
dunia. Gambar-gambar yang menunjukan keindahan pemandangan yang tak bisa
kujumpai dirumah, tapi tak sekalipun ia bercerita tentang petualangan yang
telah ia alami. Suatu kali aku bertanya bagaimana rasanya ketika berada di
sebuah tempat yang asing, ia hanya menjawab, luar biasa.
Aku dilahirkan di
sebuah keluarga petani yang bertahan hidup
dengan menanam gandum dan jagung. Ayahku adalah seorang pensiunan
tentara yang pernah bertugas di Timor Leste sebelum ia dibebastugaskan,
sekaligus pemimpin gereja di kampungku. Ayah bertemu ibu ketika para tentara
yang tiba di tanah air dengan kapal pengangkut pasukan. Begitu yang ku tahu
dari bibi-bibiku lainnya. Beberapa tahun kemudian mereka menikah dan melahirkan
dua orang saudaraku laki-laki dan aku. Mereka senang bekerja keras.
Saudaraku tertua,
Philipus, sepertinya memilih menjadi seorang petani seperti ayahku. Katanya,
jika berada di tengah lapangan pertanian, hatinya terasa damai dan tenang
sehingga timbul semangat untuk bekerja. Dengan demikian, ayahku memberikan
sebidang tanah dan mengolahnya menjadi lahan pertanian jagung. Ia tinggal di
rumah yang terletak di kaki gunung, yang ia bangun sendiri bersama istrinya,
seorang gadis dari kampung tetangga. Kini mereka memiliki seorang anak
laki-laki berusia sekitar 3 tahun.
Saudara keduaku,
yang bernama Brod, bekerja sebagai perawat di rumah sakit di kota. Ia tinggal
di sebuah rumah yang nyaman, terletak di tepi danau kecil dengan pemandangan
yang indah. Beberapa minggu sekali, ia berkunjung ke rumah, sekedar menjenguk
atau merayakan hari-hari spesial di keluargaku, seperti ulang tahun, panen, dan
sebagainya. Aku pernah datang ke tempat ia tinggal beberapa kali. Suasananya
nyaman, hanya saja terlalu berisik. Aku tak tahan tinggal di sana. Dasar orang
kampung, katanya padaku.
Sementara aku, ku
kira aku memiliki pemikiran yang berbeda dari mereka. Dari semua orang yang ku
kenal, aku mengagumi Pamas Sam yang nyentrik. Ia seorang petualang sejati dan
berkali-kali menghilang, sehingga keluarga kami kerepotan di buatnya. Buku-buku
yang pernah ia tunjukan padaku, ku baca sampai habis dan ku simpan hingga saat
ini. Sehingga semua pemandangan dan kisah perjalanan itu selalu
terngiang-ngiang di kepalaku.
“Apa lagi yang kau
rencanakan kali ini?” kata ayahku ketika kami tengah berkumpul di rumah untuk
merayakan Natal. Kedua saudaraku juga ada di sana.
“Belum tahu, Yah.”
Kataku. “Mungkin aku akan pergi ke suatu tempat di tepi laut dengan ombaknya
yang besar dan pasirnya yang putih bagai salju.”
“Apa tempat seperti
itu ada?” kata Brod.
“Tentu saja ada.
Apa kalian tidak pernah membaca atau menonton berita?”
“Kami terlalu sibuk
untuk hal-hal seperti itu.” sahut saudaraku Philipus.
“Ya, tentu saja.
Kalian begitu sibuk dan melupakan pemandangan sekitar yang benar-benar indah.”
“Sudahlah, jangan
berbicara tentang hal itu lagi. Itu bukan hal yang penting saat ini. Ayah punya
seorang kenalan di kepolisian kota. Ayah berencana untuk mendaftarkanmu di
akademi polisi.”
“Itu ide yang bagus
sekali. Kau akan menyukainya.” Kata Ibuku.
“Ku rasa tidak, Yah,
Bu. Mungkin setahun atau dua tahun lagi. OK?”
“Jangan bodoh.”
Sahut Brod. “Lakukan saja apa yang Ayah minta.”
“Apa kau ingin
menjadi Paman Samuel?”
“Apa yang salah
dengan Paman Sam?”
“Tak ada yang
salah, hanya saja ia menghabiskan waktunya dengan sesuatu yang tak berguna.
Percakapan ini hanya sampai di sini saja.”
Aku hanya bisa diam
dan melanjutkan makanan yang terasa sangat hambar karena perasaanku yang pahit.
Ibuku juga hanya diam. Mereka tak kan mengerti dengan hal-hal selain yang
mereka ketahui. Aku tak bisa melawan kehendak ayahku secara terus terang. Percuma
saja. Keputusan yang ia ambil tak bisa diganggu gugat, biasanya begitu.
Malam menyelimuti padang
rumput luas yang terlihat bagai bergelombang ditiup angin. Pepohonan kecil
tampak gelap di kejauhan. Sementara bintang-bintang menghiasi langit tinggi di
angkasa. Aku membayangkan menyaksikan malam seperti ini di suatu tempat yang
jauh dari sini, di temani oleh orang-orang asing, tidur dalam kemah-kemah yang
sejuk dan penuh dengan kedamaian. Bukan berarti tak ada kedamaian di rumah ini,
hanya saja, aku merasa sedang diikat oleh sebuah kekuatan yang tak bisa ku
lawan. Ayahku.
Aku membuka jendela
dan turun ke dalam gelap menuju rumah mendiang Paman Sam. Rumah itu kini di
huni oleh penjaga peternakannya yang sudah lama tinggal di di situ. Ku dapati
ia tengah duduk diteras rumah di bawah bintang-bintang sambil menikmati rokok
dan segelas besar kopi.
“Apa yang kau
lakukan disini?” katanya ketika melihatku.
“Cari angin.”
“Bagaimana kalau
ayahmu mencari?”
“Sudahlah, Paman
Robert, aku kan sudah dewasa. Bisa jaga diri sendiri.”
“Kopi?” katanya
sambil mengangkat gelas besarnya kemudian meneguknya dengan nikmat.
“Rokok saja.”
Sahutku.
Kami terdiam
beberapa saat, saling melemparkan pikiran ke dalam angan masing-masing,
sementara angin lembut berhembus menerpa rumah itu.
“Paman“ kataku.
“Apakah paman mengenal Paman Sam dengan baik?”
“Ya, kami sudah
berteman sejak kecil.”
“Sayang sekali, ia
pergi begitu cepat, ya?”
“Lebih baik
begitu.”
“Kenapa, Paman?”
“Hidup tak bisa
lagi menahan keinginannya yang begitu kuat untuk pergi berkelana. Badannya
sudah terlalu lemah dan pikirannya sedikit tidak beres. Mungkin saja karena
terlalu lama menghabiskan waktu tanpa teman.” Katanya sambil menghirup kopi
dari gelas besar bertangkai itu.
“Menurut paman
bagaimana?”
“Apanya?”
“Tentang Paman
Sam.”
“Oh, ya. Orang
malang itu merupakan lelaki paling berani yang pernah kukenal. Kepalanya selalu
dipenuhi ide-ide gila dan ia akan melakukan apa saja demi mewujudkannya.”
“Ku pikir aku tak
benar-benar memahami orang tua itu.”
“Tak seorangpun
yang bisa memahami sifat dan karakternya yang unik, pamanmu itu.”
“Bagaimana bisa,
bukankah paman teman lamanya?”
“Ya, betul. Tapi,
bagai meraba-raba di kegelapan, seperti itulah jika kau ingin memahaminya.
Susah di tebak. Pemikirannya rumit dan sangat berbeda dengan orang lain.”
“Bagaimana ketika
ia dulu memutuskan untuk pergi dari rumah?”
“Aku tak begitu
ingat, kejadian itu sudah sangat lama, hampir 30 tahun yang lalu. Tapi ia pergi
dengan impian yang begitu besar. Ia hanya mengatakan padaku tentang kapal-kapal
besar dan hamparan lautan yang sangat luas dan beku. Itu saja. Aku tak tahu
kemana-mana lagi ia berkelana. Ia tak pernah berkirim surat.”
“Rumit juga.”
Kataku.
“Ya, seperti
katamu. Rumit.”
“Paman pernah
berkelana, bepergian ke tempat yang jauh?”
“Tidak.” Sahutnya.
“Aku menyukai tempat ini; udaranya yang bersih, pepohonan tinggi dan damai,
sehingga aku tak perlu membahayakan hidupku demi kesenangan, atau apa yang kau
sebut dengan tantangan. Tidak, aku tak menyukainya. Aku terlahir di sini dan
takdirku mengatakan harus tinggal di sini.”
“Paman pernah
membaca buku-buku yang Paman Sam bawa kemari?”
“Ya, ceritanya
bagus-bagus...”
“Gambarnya juga.”
“Betul.”
“Aku ingin seperti
paman Sam.”
“Ya, kau bisa
menjadi siapa saja. Namun, pilihan hidupmu tak semudah kelihatannya. Banyak hal
yang harus dikorbankan.”
“Kenapa begitu,
paman?”
“Karena untuk
mendapatkan sesuatu, ada hal-hal tertentu yang harus dikorbankan, atau
setidaknya di lepaskan.”
“Seperti ketika ia
meninggalkan rumah pada waktu muda dan puluhan tahun kemudian kembali namun
hidup yang ia jalani terlihat sia-sia?”
“Kau terdengar
seperti ayah atau ibumu.”
“Maaf paman, aku
tidak bermaksud begitu. Siapa aku yang menghakimi perbuatan seseorang?”
“Bagus kalau kau
mengerti. Dengar, nak. Kehidupan tak kan berguna jika kau hanya berdiam diri di
rumah dan menjalani hidupmu yang membosankan itu.”
“Maksud paman?”
“Tempat ini memang
indah dan damai. Memberikan segala yang kau butuhkan dan keamanan. Kau tak
perlu merasa takut atau gelisah akan hari esok karena semua telah tersedia. Dan
kehidupan tampak begitu baik padamu. Ku pikir kau tak perlu menjadi seperti
kedua saudaramu itu. Ketika masih kanak-kanak, pikiran mereka di penuhi oleh imajinasi-imajinasi
tak berbatas. Namun, ketika dewasa, seperti yang biasanya terjadi, secara
perlahan mereka melupakan pemikiran-pemikiran besar yang pernah terlintas dalam
benak mereka, dan menjalani sebuah rutinitas yang tanpa sadar menghapus ingatan
masa kecil mereka.”
“Apa aku akan
begitu juga paman?”
“Tidak, jika kau
mengerti apa yang harus kaulakukan.”
“Tapi aku masih
sangat muda.”
“Paman Sam-mu juga
dulu pergi ketika ia seusiamu.”
“Paman, aku tak
berani memikirkan hal seperti itu. Ayahku akan membunuhku dan saudara-saudaraku
yang lain akan mencemoohku. Sementara ibuku, aku tak tahan melihatnya diliputi
kesedihan tiada akhir.”
“Selalu ada cara
lain. Walau begitu, tinggallah di sini, nikmati malam-malam yang gelap dan sepi
seperti ini saja dan suara-suara jangkrik yang membelah malam. Tambah rokokmu
dan buatkan kopi lagi. Malam ini tak berbeda dari malam-malam kemarin.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar