Selasa, 06 Agustus 2013

KISAH ANEH


Jonathan terbangun di pagi hari dan mendapati semua orang di seluruh dunia telah menghilang.

Hari itu, jam menunjukan pukul 7.15, alarm berdering memenuhi seisi kamar. Dengan malas Jonathan bangkit dan menuju kamar mandi. Hari-hari yang membosankan segera dimulai kembali, pikirnya, dan pekerjaan yang menumpuk, ah, ia tak berani membayangkannya. Jonathan mengenakan pakaian yang sama setiap hari Senin. Kali ini, pakaian yang ia kenakan lebih besar dan celananya sedikit kedodoran. Ia menyiapkan sarapan telur dadar dan nasi putih serta susu, beberapa saat kemudian ia siap berangkat bekerja.

Tapi ada beberapa hal yang terasa aneh hari itu. Udara terasa lebih segar dari pada biasanya dan hiruk pikuk kota yang begitu padat tak terdengar. Jonathan mengecek handphone-nya, tak ada pesan masuk ataupun panggilan tak terjawab. Hanya beberapa pengingat yang menunjukan betapa akan sibuk ia hari ini. Ia memasuki lift dan memencet tombol lantai dasar. Biasanya, lift akan berhenti di setiap lantai dan orang-orang berbondong-bondong memenuhi lift itu hingga penuh sesak, namun kali ini, semuanya tampak tidak biasa. Mungkin mereka tengah liburan, pikirnya.

Ketika tiba di lobi apartemen itu, Jonathan merasa heran, karena tak seorangpun ia jumpai di sana. Semuanya tampak bersih dan rapi, bahkan televisi besar di sebelah booth resepsionis itu menyala tengah menayangkan film yang paling jelek yang pernah ia saksikan. Jonathan tertegun sesaat, ia menoleh sekeliling. Kosong melompong. Ia memanggil-manggil, tak ada jawaban. Ia pergi ke ruang kamera pengawas tempat seorang temannya bekerja, tak ada seorangpun di sana. Kemana semua orang, pikirnya. Ia berlari ke arah pintu keluar, dan betapa ia terkejut menyaksikan pemandangan yang langka ini: kendaraan mobil dan motor terparkir rapi dan sebagian lagi berada di jalanan. Akan tetapi, mobil-mobil itu sepertinya ditinggalkan begitu saja oleh pengemudinya. Toko-toko dan tempat minum di tepi jalan dengan meja-meja yang di letakkan di trotoar, buka seperti biasa, namun tak ada satupun orang di sana. Pendeknya, semuanya tampak normal, hanya saja, tak seorangpun manusia yang ia jumpai.
Aneh sekali, pikir Jonathan. Ia mulai mereka-reka pikirannya, apa gerangan yang terjadi. Apakah ini hanya gurauan? Atau semua orang tengah bermain petak umpet, tapi untuk apa? Apakah orang-orang di seluruh kota sengaja bersepakat memberikan kejutan padanya, tepat pada hari ia berulang tahun hari ini? Semua itu tak masuk akal, pikirnya. Benaknya mulai gelisah dan otaknya mengatakan ada hal yang tak beres terjadi hari ini.

Jonathan menyusuri jalan yang setiap pagi ia tempuh menuju kantor. Ia bekerja sebagai akuntan di perusahaan keuangan yang terletak di komplek bisnis di pusat kota. Setiap hari ia berangkat pagi-pagi dan kembali ketika senja mulai menyelimuti permukaan bumi. Sudah dua tahun ini ia tak sempat mengambil cuti. Ia tak ingin kehilangan kesempatan menabung dan berkunjung ke luar negeri sebagaimana yang selama ini ia impikan. Jonathan bergegas menuju kantornya, sambil berharap masih ada seseorang yang ia jumpai di sana. Ia tak perlu berlama-lama di jalan karena tak seorangpun yang harus ia sapa dengan mengucapkan selamat pagi. Jonathan tiba di sebuah bangunan yang tinggi menjulang. Layar besar televisi yang terpampang di depan kantornya, menyala menayangkan iklan asuransi yang baru-baru ini tengah naik daun. 

Tidak, pekiknya ketika ia tiba di meja resepsionis. Kertas-kertas tersusun rapi. Ia menaiki tangga bergegas menuju ruangannya. Sama saja. Semuanya kosong melompong. Meja-meja yang berjejer rapi di sepanjang ruangan yang biasanya dipenuhi seruan orang-orang yang sibuk bekerja, dengan komputer hitam di atasnya, tampak sunyi sepi. Apa yang sebenarnya terjadi, pikirnya. Jonathan memencet handphone-nya, menghubungi seseorang, tak ada jawaban. Ia menunggu. Tetap tak ada jawaban. Ia menghubungi sahabatnya, Amos. Tak ada jawaban. Pesan-pesan yang ia kirimkan juga tak ada balasan. Ia juga menghubungi orang tuanya yang tinggal di luar kota, sama saja. Tak ada jawaban. Jonathan mulai panik, ia berlari keluar. Jalan raya itu dipenuhi mobil-mobil. Namun mereka tak bergerak. Jonathan berteriak, berharap ada orang yang mendengar dan menjawab teriakannya. Ia terus berteriak hingga perutnya sakit dan suaranya tak kuat lagi. 

Jonathan masuk ke dalam sebuah mobil entah milik siapa, lalu berkendara menuju sudut lain kota. Ia berhenti di depan sebuah apartemen yang dicat warna hijau. Ia segera berlari menuju sebuah kamar. Namun ia juga tak mendapati seorangpun di sana. Hanya beberapa foto yang menunjukan seorang gadis cantik bermata indah dengan rambut ikal dan bibir tipis yang merekah. Flora, tunangannya, ikut-ikutan menghilang. Jonathan menghabiskan hari itu berkeliling kota, mencari tahu apa yang sekiranya terjadi. Seperti yang sudah-sudah, ia tak menjumpai seorangpun. Semua hilang, menguap, atau ditelan bumi, atau entah bagaimana caranya sehingga semua orang tiba-tiba lenyap. 

Namun, dengan begitu, Jonathan seolah memasuki babak baru dalam hidupnya. Dua hari sejak peristiwa aneh ini, untuk pertama kalinya, Jonathan merasa dirinya merdeka. Terbebas dari segala rutinitas pekerjaan yang memuakan, ia tak perlu lagi bangun pagi dan pergi bekerja atau berpikir untuk membayar hutangnya yang tidak sedikit. Saat ini, ia berusia 29 tahun dan telah bekerja sejak ia berusia 19 tahun. Tak sekalipun ia merasa sebebas ini. Ia pergi ke restoran tempat ia biasanya melewatkan malam minggu, dan makan di situ dengan makanan apa saja yang ia inginkan. Kali ini ia tak perlu membayar. Ia juga pergi ke toko kaset, memilih sendiri lagu-lagu kesukaannya dan membawanya pulang. Atau ketika ia membutuhkan pakaian, ia hanya tinggal pergi ke toko dan mengambil pakaian yang mana saja ia suka, bahkan pakaian yang tak kan pernah mampu ia beli seumur hidupnya. Atau mobil dan sepeda motor, ia tinggal mengambil di jalan. Sebagaimana juga dengan peralatan lainnya, ia tinggal mengambil di toko atau membuangnya ketika ia sudah tak menyukainya dan mengambil lagi sesuka hatinya. Pendeknya, Jonathan bagai hidup di dunia mimpi, tak perlu bersusah-susah untuk memperoleh kesenangan, dan ia benar-benar mahir dalam hal bersenang-senang.

Namun, lepas dari semua itu, Jonathan mulai merasa gelisah dan kesepian. Beberapa minggu kemudian, kesenangan dan kebebasan mutlak yang ia peroleh tak lagi mengesankan. Ia mulai terbangun dengan perasaan malas dan pikiran yang penuh tanda tanya, kemana orang-orang? Dan apalah arti semua ini jika hanya dinikmati sendirian. Sudah berhari-hari lamanya ia tak berbicara, atau tertawa-tawa. Ia merindukan tunangannya, Flora, dan Amos sahabatnya. Ia juga telah berkunjung ke rumah orang tuanya yang terletak 90 km dari kota, sesuatu yang telah lama tidak ia lakukan. Jonathan menemukan pemandangan yang tak berbeda. Ia sangat merindukan mereka. Dan semua kenikmatan ini tak kan berarti apa-apa lagi. Dunia tampak sunyi sepi. Dalam kemegahannya ia tinggal berdiri dalam keheningan. Dan kali ini, ia benar-benar sendirian.

Sabtu, 03 Agustus 2013

PERCAKAPAN ANGIN

Aku pernah mendengar seseorang mengatakan bahwa inti semangat manusia berasal dari setiap pengalaman baru, entah melakukan perjalanan ke suatu tempat yang belum pernah didatangi sebelumnya atau suasana baru meski tetap berada di tempat yang sama. Oleh karena itu, aku ingin sekali melakukan perjalanan. Seperti seorang backpacker dengan tas ransel besar, yang menjadi ciri khas mereka, di punggungnya, menemukan tempat-tempat baru dan kehidupan baru yang biasanya berbeda. Dan yang luar biasa, para pelancong ini kemudian menuliskan pengalaman mereka ke dalam buku sehingga dapat dinikmati oleh banyak orang dan menyebarkan semangat yang sama.

Aku menyebutnya Rencana Besar. Aku bersiap dengan segudang rencana dan berbekal uang seadanya untuk melakukan petualanganku sendiri. Aku banyak membaca bermacam petualangan yang dilakukan orang-orang dari internet dan membakar diri dengan api semangat yang menggelora. Orant-orang itu mengatakan bahwa petualangan yang mereka lakukan merupakan bagian dari panggilan hidup dalam upaya menyelami arti kehidupan. Namun, hingga hari ini, aku belum juga memahami pola pikir mereka dan bagaimana mereka memulai semua itu. Walau dalam internet, mereka memaparkannya dengan gamblang, ku pikir, aku tak cukup cerdas menyelaminya. Hingga suatu hari, saat yang kunanti-nantikan tiba seiring dengan libur panjang akhir semester datang. Aku bersiap dengan keraguan melanda hatiku. Namun, rencana terkadang tak bersesuaian dengan kenyataan. Aku mendapati diriku tengah terdiam duduk dalam kamarku yang sempit, menghadap meja sambil memikirkan apa yang harus ku lakukan ke depannya. Mungkin aku tak punya cukup keberanian untuk memulainya atau banyak hal lain yang tak ingin kukatakan padamu. Pada dasarnya, setiap manusia melakukan perjalanan dalam kehidupannya yang singkat ini. Entah dengan merantau ke negeri asing atau bepergian melalui pengalaman spiritual yang tak ku mengerti, sambil tetap menjalani rutinitas yang semakin lama semakin menjemukan.

Sudah beberapa tahun ini aku merasakan ada yang salah dengan diriku. Mungkin kau lebih mengerti keadaan yang ku alami, maksudku, ketika kau tidak bekerja sehingga tak satu rupiah pun mengalir dalam dompetmu yang bahkan sudah tak berbentuk sejak hari itu. Melewati hari-hari dengan menulis sesuatu yang tak ada artinya. Namun, semua itu memberiku semangat untuk melakukan sesuatu. Sebagaimana yang kau ketahui juga, masalah itu bukanlah satu-satunya masalah yang ada. Setiap hari kau mencoba mencernanya dengan pikiranmu, tiba-tiba, kau tersesat dalam kebingungan dan mendapati mereka bagai jutaan bintang yang bertaburan di langit malam. Kau tahu, ketika sinar matahari di ufuk timur mulai merekah, aku hanya bisa memandanginya. Dalam hati terbersit sebuah pemikiran, kalau saja aku bisa menyaksikan pertunjukan terhebat dari alam semesta ketika memulai hari yang baru di suatu tempat yang berbeda. Aku tak tahu dimana perbedaannya dan bagaimana rasanya. Mungkin kau telah mengalaminya jutaan kali dan hal itu tidak lagi menjadi sebuah kejutan. Perlahan, sesuatu yang hebat dan luar biasa menjadi hal biasa dan tak bermakna. Ku pikir, setiap orang memiliki kewajiban untuk menyelami hal-hal sederhana di dunia ini dengan tetap mensyukuri apa yang tersedia, agar jiwamu terjaga. Walaupun, kau tahu, manusia bukanlah spesies yang mudah menerima apa yang terlihat. Selalu menginginkan yang lebih dari pada itu. Justru, disitulah letak kehebatan manusia. Pernah suatu ketika aku tengah duduk menikmati sinar matahari sore di tepi hamparan padi yang memantulkan sinar keemasan. Angin sepoi-sepoi membelai wajah dan menerbangkan angan mengatasi gunung yang di kejauhan bagai tumpukan benda berwarna hijau tak beraturan, maaf, jika penggambaran yang ku katakan ini tidak memenuhi angan-anganmu yang tak terbatas. Setidaknya, pengalaman itu memberikan angin baru bagi jiwaku yang mulai layu. Aku melemparkan sebuah pemikiran keluar dari hatiku, tentang bagaimana dunia ini berputar dan berjalan sesuai dengan arahan tangan-tangan yang menulisnya. Tapi, adalah suatu kebodohan jika kau mencoba memahami seluruh pertunjukan ini.

Tiba-tiba, desir angin membisikan sesuatu, “Apa yang kau lakukan disini, anak muda?”

Aku terhenyak, ku pikir suara itu milik seseorang yang melintas di jalan kecil di belakangku. Aku menoleh tapi tak menjumpai seorangpun. Lalu dengan sedikit keberanian yang masih tersisa aku menjawab, “Aku mencoba memahami keindahan yang ditujukan alam padaku. Oh,betapa besar, betapa luar biasanya semua ini. Tapi, siapakah engkau?”

Ia berkata lagi, “Aku adalah angin, yang bepergian melintas ruang dan waktu. Aku baru saja melalui sebuah padang hijau dengan beberapa anak manusia asyik bermain-main dan mengucapkan syukur karena memberikan mereka perasaan tenang, tapi mereka tak mengatakan sesuatupun padaku. Ketika ku saksikan seorang manusia menatapku, aku mendekatimu, karena ku lihat wajah yang murung dan hati yang bersedih. Aku ingin sekali berbicara pada manusia, karena mereka menyimpan banyak rahasia. Lagipula, sudah lama sekali aku tidak berbicara pada manusia.”

“Kalau begitu, apa yang bisa ku katakan padamu?” kataku. “Kau tahu, terkadang kesedihan timbul tanpa sebab yang pasti. Dan tiba-tiba saja kau merasakan sesuatu yang berbeda bergejolak di dalamnya.”

“Aku tidak mengetahui segalanya, namun, aku dapat membaca hati dan pikiran setiap manusia. Hanya saja, sedikit dari mereka yang mampu menanggapi apa yang hendak ku katakan.”

“Kalau begitu, apakah kau juga mengetahui perjalanan hidupku dan impian-impian besar yang tersimpan rapi dalam pikiranku saat ini?”

“Tentu saja, aku bahkan menyaksikan kelahiranmu. Aku selalu bahagia ketika seorang manusia terlahir di dunia. Oleh karena itu aku membuka jalan bagi cahaya mentari dengan menyibakkan awan, sahabat karibku, sehingga manusia itu dapat melihat cahaya yang memberi kehidupan padanya.”

“Indah sekali.” Kataku.

“Ya, benar sekali, sebagai mana juga saat kau di lahirkan.”

“Seperti yang kau katakan tadi, dengan mengetahui banyak hal, rahasia setiap orang contohnya, apakah hal itu memberikah kebahagiaan bagimu?”

“Tidak.” Katanya. “Justru aku merasakan betapa manusia kala ini berbeda dengan manusia yang pernah ku kenal dulu. Mengerikan sekali.”

“Kenapa?” tanyaku.

“Kau tak ingin mengetahuinya.” Jawabnya.

Tak terasa, malam menjelang. Sang angin pergi entah kemana. Aku kembali ke rumah dengan perasaan senang bercampur aneh. Aku tak menyangka, manusia dapat berbicara dengan angin. Malam itu, seperti biasanya, aku duduk kembali di dalam kamarku yang sempit dengan hati berdebar-debar. Aku tahu, esok akan lebih menarik dari hari ini. Malam semakin larut, setelah makan malam, aku pergi tidur.

Cahaya pertama matahari pagi menerobos masuk ke kamarku. Hangat. Aku tak sabar ingin bertemu lagi dengan teman baruku. Rutinitas pagi seperti biasanya ku lakukan dengan semangat. Banyak hal yang kukerjakan sehingga nanti aku punya bermacam kisah yang bisa kuceritakan. Tapi, sebelum tengah hari, langit menjadi gelap dengan awan kelabu bergulung-gulung di angkasa. Membuat pemandangan menjadi menakutkan, dan titik-titik air menerjang permukaan bumi dan segala yang ada di atasnya. Aku hanya bisa memandang melalui jendela yang basah sambil berharap semoga hujan tak bertahan lama agar aku tak perlu melewatkan hari ini dalam kekecewaan. Syukurlah, beberapa jam setelahnya, sinar matahari kembali muncul berkilauan.

Sore itu, pada jam yang sama seperti kemarin, aku datang lagi ke persawahan. Kali ini sebuah buku novel di tanganku. Aku tak tahu hendak ku apakan buku itu, hanya saja, perasaanku mengatakan harus membawanya. Beberapa menit kemudian, angin sepoi berhembus. Menelisik dedaunan padi yang menguning, dan menghampiri wajahku. Aku menunggu.

“Apa kabarmu hari ini, kawan?” Aku tahu suara itu.

“Aku merasa berbeda.” Kataku.

“Senang sekali mendengarnya.”

“Kalau kau punya sedikit waktu, mau kah kau menemaniku sekedar berbincang sebentar?”

“Tentu saja.”

Aku menceritakan padanya kegiatanku hari ini dan apa saja yang telah kulalui. Ku katakan juga padanya tentang hujan lebat siang tadi.

“Oh,” katanya, “Ia tak kan menyakitimu. Sang awan sedang melaksanakan tugasnya.”

“Jadi, setiap kalian memiliki tugas masing-masing? Apakah tidak membosankan melakukan hal yang itu-itu saja, seperti menurunkan butiran-butiran air atau menghembusi berbagai belahan dunia dengan angin mu?”

“Tentu tidak. Itu sudah menjadi tugas kami. Dengan senang hati kami melakukannya karena kami mencintai manusia.”

“Tentu saja.” Kataku. “Kalian tak memiliki masalah seperti yang kami hadapi.”

“Perlu banyak belajar agar kau mengerti.” Sahutnya. “Kami memiliki masalah, namun apakah dengan masalah itu kau akan berhenti melakukan apa yang harus kau lakukan, tidak bukan?”

“Ya, kau benar sekali. Kau katakan tadi kalian mencintai manusia, lalu bagaimana dengan bencana-bencana yang terjadi waktu-waktu ini, mereka mengatakan alam sedang menunjukan kemarahannya. Bagaimana kami tahu kalau kalian memiliki cinta jika tanpa segan-segan membunuh manusia?”

Angin berhembus pelan.

“Kebanyakan manusia menyalahkan kami atas apa yang menimpa mereka.” Katanya.

Aku menanggapi, “Sudah sepantasnya.”

“Aku ingin menceritakan sebuah kisah.” Katanya. “Pada suatu ketika, seorang manusia menemukan sebuah mesin. Mereka semua berbahagia karena dengan mesin ini pekerjaan mereka menjadi lebih mudah. Selain itu, apa saja dapat mereka lakukan. Seiring berjalannya waktu, berbagai jenis mesin dan benda-benda lainnya muncul di muka bumi, sementara keinginan manusia semakin bertambah-tambah melebihi yang dapat dibayangkan sebelumnya. Keserakahan meracuni pikiran mereka. Mereka saling membunuh, saling menghancurkan dan saling menguasai. Kemudian dengan alasan meningkatkan taraf hidup, mereka mulai merambah alam; hutan-hutan dan tanah, menebangi pepohonan dan memusnahkan segala makhluk hidup di dalamnya. Bukit dan gunung-gunung yang gundul bagai orang tak berambut. Kau lihat saja, sampah-sampah bertebaran dimana-mana sehingga sungai yang bening menjadi sumber kematian. Kemudian awan melakukan tugasnya, memberi titik air bagi manusia. Sebagaimana aku, sang awan juga hanya melakukan apa yang harus ia lakukan, ketika pepohonan yang menjadi bagian penting dalam tugasnya tak ada lagi, kau tahu bagaimana akibatnya jika... Bukan kah hal itu ada dalam buku pelajaranmu, ketika penyerapan tak dimungkinkan lagi, maka segala air yang tergenang akan melanda apa saja yang dilaluinya? Mereka mengutuki kami, manusia-manusia itu.”

“Apakah kau marah dengan makian yang mereka ucapkan?”

“Aku tak tahu, kami tak memiliki emosi seperti itu. Hanya saja, terkadang manusia itu lebih bodoh dari yang dipikirkan.”

“Kenapa begitu?”

“Karena mereka mengetahui segala sesuatu, tapi keserakahan membutakan mata mereka, sehingga... kau tahu.” Ia tak melanjutkan ucapannya.

“Tapi tak semua manusia seperti itu.” Kataku berusaha membela diri.

“Tentu saja.” Ujarnya.

“Bisakah aku berkata-kata dengan sang awan?”

“Kapan saja kau mau. Ku rasa ia tengah sibuk saat ini. Kau lihat di sebelah barat, awan hitam dengan dinding kelabu hingga ke permukaan bumi.”

“Bisakah ia mendengar apa yang kita bicarakan sekarang ini?”

“Tidak, teman. Ia terlalu jauh untuk mendengar.”

Aku meletakkan buku yang ku bawa di sampingku. “Kau tahu buku ini?” kataku.”Aku membaca di dalamnya tentang seorang pemuda yang berbicara pada angin di padang gurun.”

“Ya, aku mengenal pemuda itu.”

“Benarkah?” kataku tak percaya.

“Tentu, kejadian itu sudah sangat lama.”

Aku terdiam, hati ku mengatakan sesuatu tentang pujian. “Kau baik sekali.” Katanya seolah membaca pikiranku. “Oh, aku melupakan sesuatu, kau dapat membaca pikiran manusia.”

“Apakah kita dapat berteman selamanya?” kataku.

“Selama yang kau inginkan. Selama kau memberi waktu untuk mendengarkan suara hatimu.

”Kenapa begitu?”

“Karena hatimu adalah sumber kehidupan. Ia merupakan roh TUHAN yang tinggal dalam manusia.”

“Tapi bagaimana jika hatiku mengatakan sesuatu yang jahat?”

“Itu pikiranmu yang bertindak seolah ia adalah suara hati.”

“Aku tak mengerti.”

“Kau akan mengerti pada waktunya nanti.”

“Apakah kau melihat seorang manusia ketika ia mati?”

“Selalu.”

“Bagaimana?”

“Kami akan menangis dan sang awan akan menurunkan hujan karena kesedihannya. Namun kami juga berbahagia, karena orang itu telah menyelesaikan tugasnya dimuka bumi dan ia kembali kepada sang Penciptanya.”

“Sudah berapa lama kau di sini?”

“Sejak dunia diciptakan.”

Sejak hari itu, aku selalu melewatkan hari berbicara padanya. Semua orang memandangku dengan tatapan aneh saat aku menyusuri jalanan sempit menuju rumahku. Mereka berbisik-bisik. Ku dengar sekilas, mereka mengatakan aku gila atau orang yang menyedihkan, dan yang lain mengatakan aku terlalu banyak berpikir sehingga kehilangan kesadaran.

Aku tak perduli apa yang mereka pikirkan tentangku. Mereka tak memiliki yang ku miliki. Angin pernah mengatakan, menjalani hidup butuh keberanian. Apapun yang kau lakukan, selalu ada pengalaman baru. Mungkin dengan begitu, aku harus melupakan perjalanan yang pernah ku rencanakan dan membiarkan Rencana Besar itu terbang bersama angin. Karena kini, aku dapat pergi kemana saja melalui pikiranku.

Uncle Sam



Paman Samuel meninggal ketika fajar hendak menyingsing pada suatu pagi di bulan Maret. Ia di temukan oleh seorang pekerja yang bertugas mengurus peternakan miliknya. Jeritan dan tangisan menggema dari dalam rumah itu. Paman Sam, begitu aku memanggilnya, merupakan seorang pria dengan karakter rumit. Dulu, ketika kecil, aku seringkali mendengar ayah dan ibu dan saudara-saudara mereka yang lain membicarakan tindakan Paman Sam yang kata mereka sangat berbeda dari kebiasaan orang di tempat tinggalku. Meski begitu, Paman Sam tetap menjalani pilihan hidupnya sebagai seorang pelancong. Yang ku tahu kemudian, ia bepergian hampir sepanjang hidupnya, mengelilingi dunia dan berkelana meski tak memiliki apapun. Hingga kemudian, tiba-tiba saja ia kembali lalu menikah dan tinggal di desa. Namun, pernikahannya tak menghasilkan anak sehingga rumahnya yang terletak di sebuah lahan pertanian di dekat hutan yang sedikit jauh dari pemukiman utama, terlihat sepi. Dengan demikian, ia sering melewatkan malam-malamnya di bar dan pulang dalam keadaan mabuk berat. Bibi Klara, istrinya, kemudian menceraikannya dan pergi ke kota lain. Paman Samuel hidup seorang diri hingga hari matinya. Bahkan mantan istrinya tak datang ketika hari ia dimakamkan. Aneh juga. 

Paman Sam pernah menunjukan padaku buku-buku yang ia peroleh selama perjalanannya mengelilingi dunia. Gambar-gambar yang menunjukan keindahan pemandangan yang tak bisa kujumpai dirumah, tapi tak sekalipun ia bercerita tentang petualangan yang telah ia alami. Suatu kali aku bertanya bagaimana rasanya ketika berada di sebuah tempat yang asing, ia hanya menjawab, luar biasa.

Aku dilahirkan di sebuah keluarga petani yang bertahan hidup  dengan menanam gandum dan jagung. Ayahku adalah seorang pensiunan tentara yang pernah bertugas di Timor Leste sebelum ia dibebastugaskan, sekaligus pemimpin gereja di kampungku. Ayah bertemu ibu ketika para tentara yang tiba di tanah air dengan kapal pengangkut pasukan. Begitu yang ku tahu dari bibi-bibiku lainnya. Beberapa tahun kemudian mereka menikah dan melahirkan dua orang saudaraku laki-laki dan aku. Mereka senang bekerja keras.

Saudaraku tertua, Philipus, sepertinya memilih menjadi seorang petani seperti ayahku. Katanya, jika berada di tengah lapangan pertanian, hatinya terasa damai dan tenang sehingga timbul semangat untuk bekerja. Dengan demikian, ayahku memberikan sebidang tanah dan mengolahnya menjadi lahan pertanian jagung. Ia tinggal di rumah yang terletak di kaki gunung, yang ia bangun sendiri bersama istrinya, seorang gadis dari kampung tetangga. Kini mereka memiliki seorang anak laki-laki berusia sekitar 3 tahun.

Saudara keduaku, yang bernama Brod, bekerja sebagai perawat di rumah sakit di kota. Ia tinggal di sebuah rumah yang nyaman, terletak di tepi danau kecil dengan pemandangan yang indah. Beberapa minggu sekali, ia berkunjung ke rumah, sekedar menjenguk atau merayakan hari-hari spesial di keluargaku, seperti ulang tahun, panen, dan sebagainya. Aku pernah datang ke tempat ia tinggal beberapa kali. Suasananya nyaman, hanya saja terlalu berisik. Aku tak tahan tinggal di sana. Dasar orang kampung, katanya padaku. 

Sementara aku, ku kira aku memiliki pemikiran yang berbeda dari mereka. Dari semua orang yang ku kenal, aku mengagumi Pamas Sam yang nyentrik. Ia seorang petualang sejati dan berkali-kali menghilang, sehingga keluarga kami kerepotan di buatnya. Buku-buku yang pernah ia tunjukan padaku, ku baca sampai habis dan ku simpan hingga saat ini. Sehingga semua pemandangan dan kisah perjalanan itu selalu terngiang-ngiang di kepalaku. 

“Apa lagi yang kau rencanakan kali ini?” kata ayahku ketika kami tengah berkumpul di rumah untuk merayakan Natal. Kedua saudaraku juga ada di sana. 

“Belum tahu, Yah.” Kataku. “Mungkin aku akan pergi ke suatu tempat di tepi laut dengan ombaknya yang besar dan pasirnya yang putih bagai salju.”

“Apa tempat seperti itu ada?” kata Brod.

“Tentu saja ada. Apa kalian tidak pernah membaca atau menonton berita?”

“Kami terlalu sibuk untuk hal-hal seperti itu.” sahut saudaraku Philipus.

“Ya, tentu saja. Kalian begitu sibuk dan melupakan pemandangan sekitar yang benar-benar indah.”

“Sudahlah, jangan berbicara tentang hal itu lagi. Itu bukan hal yang penting saat ini. Ayah punya seorang kenalan di kepolisian kota. Ayah berencana untuk mendaftarkanmu di akademi polisi.”

“Itu ide yang bagus sekali. Kau akan menyukainya.” Kata Ibuku.

“Ku rasa tidak, Yah, Bu. Mungkin setahun atau dua tahun lagi. OK?”

“Jangan bodoh.” Sahut Brod. “Lakukan saja apa yang Ayah minta.”

“Apa kau ingin menjadi Paman Samuel?”

“Apa yang salah dengan Paman Sam?” 

“Tak ada yang salah, hanya saja ia menghabiskan waktunya dengan sesuatu yang tak berguna. Percakapan ini hanya sampai di sini saja.”

Aku hanya bisa diam dan melanjutkan makanan yang terasa sangat hambar karena perasaanku yang pahit. Ibuku juga hanya diam. Mereka tak kan mengerti dengan hal-hal selain yang mereka ketahui. Aku tak bisa melawan kehendak ayahku secara terus terang. Percuma saja. Keputusan yang ia ambil tak bisa diganggu gugat, biasanya begitu. 

Malam menyelimuti padang rumput luas yang terlihat bagai bergelombang ditiup angin. Pepohonan kecil tampak gelap di kejauhan. Sementara bintang-bintang menghiasi langit tinggi di angkasa. Aku membayangkan menyaksikan malam seperti ini di suatu tempat yang jauh dari sini, di temani oleh orang-orang asing, tidur dalam kemah-kemah yang sejuk dan penuh dengan kedamaian. Bukan berarti tak ada kedamaian di rumah ini, hanya saja, aku merasa sedang diikat oleh sebuah kekuatan yang tak bisa ku lawan. Ayahku.

Aku membuka jendela dan turun ke dalam gelap menuju rumah mendiang Paman Sam. Rumah itu kini di huni oleh penjaga peternakannya yang sudah lama tinggal di di situ. Ku dapati ia tengah duduk diteras rumah di bawah bintang-bintang sambil menikmati rokok dan segelas besar kopi.

“Apa yang kau lakukan disini?” katanya ketika melihatku. 

“Cari angin.”

“Bagaimana kalau ayahmu mencari?”

“Sudahlah, Paman Robert, aku kan sudah dewasa. Bisa jaga diri sendiri.”

“Kopi?” katanya sambil mengangkat gelas besarnya kemudian meneguknya dengan nikmat.

“Rokok saja.” Sahutku.

Kami terdiam beberapa saat, saling melemparkan pikiran ke dalam angan masing-masing, sementara angin lembut berhembus menerpa rumah itu.

“Paman“ kataku. “Apakah paman mengenal Paman Sam dengan baik?”

“Ya, kami sudah berteman sejak kecil.”

“Sayang sekali, ia pergi begitu cepat, ya?”

“Lebih baik begitu.”

“Kenapa, Paman?”

“Hidup tak bisa lagi menahan keinginannya yang begitu kuat untuk pergi berkelana. Badannya sudah terlalu lemah dan pikirannya sedikit tidak beres. Mungkin saja karena terlalu lama menghabiskan waktu tanpa teman.” Katanya sambil menghirup kopi dari gelas besar bertangkai itu.

“Menurut paman bagaimana?”

“Apanya?”

“Tentang Paman Sam.”

“Oh, ya. Orang malang itu merupakan lelaki paling berani yang pernah kukenal. Kepalanya selalu dipenuhi ide-ide gila dan ia akan melakukan apa saja demi mewujudkannya.”

“Ku pikir aku tak benar-benar memahami orang tua itu.”

“Tak seorangpun yang bisa memahami sifat dan karakternya yang unik, pamanmu itu.”

“Bagaimana bisa, bukankah paman teman lamanya?”

“Ya, betul. Tapi, bagai meraba-raba di kegelapan, seperti itulah jika kau ingin memahaminya. Susah di tebak. Pemikirannya rumit dan sangat berbeda dengan orang lain.”

“Bagaimana ketika ia dulu memutuskan untuk pergi dari rumah?”

“Aku tak begitu ingat, kejadian itu sudah sangat lama, hampir 30 tahun yang lalu. Tapi ia pergi dengan impian yang begitu besar. Ia hanya mengatakan padaku tentang kapal-kapal besar dan hamparan lautan yang sangat luas dan beku. Itu saja. Aku tak tahu kemana-mana lagi ia berkelana. Ia tak pernah berkirim surat.”

“Rumit juga.” Kataku.

“Ya, seperti katamu. Rumit.”

“Paman pernah berkelana, bepergian ke tempat yang jauh?”

“Tidak.” Sahutnya. “Aku menyukai tempat ini; udaranya yang bersih, pepohonan tinggi dan damai, sehingga aku tak perlu membahayakan hidupku demi kesenangan, atau apa yang kau sebut dengan tantangan. Tidak, aku tak menyukainya. Aku terlahir di sini dan takdirku mengatakan harus tinggal di sini.”

“Paman pernah membaca buku-buku yang Paman Sam bawa kemari?”

“Ya, ceritanya bagus-bagus...”

“Gambarnya juga.”

“Betul.”

“Aku ingin seperti paman Sam.”

“Ya, kau bisa menjadi siapa saja. Namun, pilihan hidupmu tak semudah kelihatannya. Banyak hal yang harus dikorbankan.”

“Kenapa begitu, paman?”

“Karena untuk mendapatkan sesuatu, ada hal-hal tertentu yang harus dikorbankan, atau setidaknya di lepaskan.”

“Seperti ketika ia meninggalkan rumah pada waktu muda dan puluhan tahun kemudian kembali namun hidup yang ia jalani terlihat sia-sia?”

“Kau terdengar seperti ayah atau ibumu.”

“Maaf paman, aku tidak bermaksud begitu. Siapa aku yang menghakimi perbuatan seseorang?”

“Bagus kalau kau mengerti. Dengar, nak. Kehidupan tak kan berguna jika kau hanya berdiam diri di rumah dan menjalani hidupmu yang membosankan itu.”

“Maksud paman?”

“Tempat ini memang indah dan damai. Memberikan segala yang kau butuhkan dan keamanan. Kau tak perlu merasa takut atau gelisah akan hari esok karena semua telah tersedia. Dan kehidupan tampak begitu baik padamu. Ku pikir kau tak perlu menjadi seperti kedua saudaramu itu. Ketika masih kanak-kanak, pikiran mereka di penuhi oleh imajinasi-imajinasi tak berbatas. Namun, ketika dewasa, seperti yang biasanya terjadi, secara perlahan mereka melupakan pemikiran-pemikiran besar yang pernah terlintas dalam benak mereka, dan menjalani sebuah rutinitas yang tanpa sadar menghapus ingatan masa kecil mereka.”

“Apa aku akan begitu juga paman?”

“Tidak, jika kau mengerti apa yang harus kaulakukan.”

“Tapi aku masih sangat muda.”

“Paman Sam-mu juga dulu pergi ketika ia seusiamu.”

“Paman, aku tak berani memikirkan hal seperti itu. Ayahku akan membunuhku dan saudara-saudaraku yang lain akan mencemoohku. Sementara ibuku, aku tak tahan melihatnya diliputi kesedihan tiada akhir.”

“Selalu ada cara lain. Walau begitu, tinggallah di sini, nikmati malam-malam yang gelap dan sepi seperti ini saja dan suara-suara jangkrik yang membelah malam. Tambah rokokmu dan buatkan kopi lagi. Malam ini tak berbeda dari malam-malam kemarin.”


Sebuah Cerpen

Seorang pria bertubuh jangkung dan berkulit pucat duduk di hadapan sebuah meja tulis. Kepalanya menunduk ditopang lengannya yang panjang dan kurus. Punggungnya melengkung seperti udang. Buku tebal terbuka dihadapannya. Entah sudah beberapa lama ia berada di tempat itu; satu jam, dua jam, atau bahkan seharian. Ia tak bergeming hingga bayangannya mematung di dinding yang dipenuhi potongan koran, majalah dan gambar-gambar aneh lainnya. Beberapa saat berlalu dalam keheningan, pria itu meluruskan tubuhnya sambil mengarahkan pandangannya ke luar jendela, mengangkat kedua lengannya ke udara. Ia menguap dan mengosok-gosok wajahnya. Ia tertegun mendengarkan desau angin; suara kendaraan-kendaraan yang melintas di jalan raya, hiruk-pikuk tetangga dengan kesibukan mereka masing-masing, dan kicauan burung-burung ditengarai gemuruh pesawat yang terbang rendah. Sinar keemasan memantulkan biru langit cemerlang dan awan putih bagai percikan cat bertebaran di sana sini.

Ketukan keras menggema di ruangan itu. Wajah persegi kemerahan berdiri di depan pintu yang terbuka, seorang pria yang menenteng gitar bergegas melangkah masuk. Sinar matanya terang dan riang diiringi sebuah senyuman mengembang dibibirnya.

“Hey, Tom, kau kemana, kenapa tak datang?” kata pria itu seraya meletakkan duduknya di atas kursi. “Semua orang mencari-carimu.”

“Aku tidak kemana-mana kok.” Kata Tom. “Aku lagi tidak mood mau keluar.”

“Sayang sekali. Kami baru saja menikmati pesta kecil di taman. Mereka menantimu dengan puisi-puisi yang mendayu-dayu itu. Tapi kau tak menunjukan batang hidungmu.”

“Aku lagi tak ingin kemana-mana. Lagi pula, apa yang mereka harapkan? Mereka hanya tahu bersenang-senang, menghabiskan waktu untuk hal-hal yang tidak berguna.”

“Kau baik-baik saja?”

“Apa aku terlihat seperti sedang tidak baik?” ujar Tom.

“Mana ku tahu. Selama beberapa hari ini kulihat kau sibuk dengan buku-bukumu, lebih sering ku lihat kau termenung. Sedang bermasalah dengan pacarmu?”

“Ah, pacar? Apa kau pernah melihatku bersama seorang gadis?”

Ia tersenyum sembari menggeleng-geleng.

“Luar biasa.” Katanya.

“Apa?”

“Ah, tidak. Cukup aneh. Kurasa kau orang paling aneh yang pernah ku kenal.”

“Terkadang aku juga ingin seperti orang-orang lain. Menikmati kehidupan yang sebenarnya. Menikmati senja di taman, atau menerima undangan ulang tahun dan pernikahan. Sehingga ketika kau hendak pergi tidur pada malam hari, pikiranmu merasa tenang dan puas bahwa kau pernah mengalami masa-masa indah bersama seseorang. Aku sudah mencobanya berkali-kal, tetap saja aku tak bisa. Malahan aku terlihat seperti orang dungu yang berdiri bagai patung bisu di sudut gelap. Memalukan sekali. Tapi sekarang, tak ada yang lebih menyenangkan dari pada menyendiri.”

“Setidaknya kau sudah berusaha. Cobalah lagi lain waktu. Dan ku rasa kau perlu melakukan hal yang berbeda. ”

“Frans, apa yang kau cari?” kata Tom.

Pria itu memalingkan wajahnya pada Tom dengan kerutan di keningnya.

“Maksudmu?”

“Ya, maksudku, apa yang kau cari?”

“Disini?”

“Bukan. Dalam hidupmu.”

“Aneh sekali. Tentu saja aku kuliah. Setelah itu bekerja dan bila cukup beruntung, aku akan menikahi gadis tercantik dan terkaya di jagat raya ini dan memiliki perusahaan konstruksi sendiri.”

“Itu saja?”

“Untuk saat ini, ya. Kenapa memangnya? Bukankah itu rencana terhebat yang pernah muncul dalam benak seorang lelaki?”

“Ya, terkadang aku berpikir apapun yang kau lakukan dalam kehidupan, semua itu hanyalah hal yang sia-sia.” Ujar Tom.

“Kenapa kau bisa berpikir seperti itu?”

“Ya, karena apapun yang kau lakukan, bagaimanapun keadaanmu pada akhirnya akan mengalami hal yang sama. Kematian. Seluruh hidupmu dan perbuatanmu hanya akan menjadi debu yang menghilang diterpa angin dan tempatmu di dunia ini digantikan oleh orang-orang lain yang bahkan tak mengenalmu sama sekali.. Lalu kau menjadi sebuah kisah tak penting meski aku belum tahu kenapa kita harus ada disini. Setiap manusia seharusnya memiliki satu impian besar dalam hidupnya.”

“Mungkin kau benar. Tapi beginilah kehidupan. Kau hidup, lahir, melakukan segala sesuatu yang kau bahkan tak tahu untuk apa. Tapi tentu semua yang terjadi memiliki tujuan, hanya saja saat ini kita belum memahaminya.”

“Ya, mungkin saja. Tapi, coba pikirkan.” Kataku meyakinkan. “Orang-orang yang terkenal; pemikir hebat dengan filsafat yang rumit, penulis, pemusik, bahkan pemimpin dunia yang berjaya pada masanya, kau lihat sekarang, apa yang tersisa dari mereka?”

“Nama, mungkin.” sahut Frans. “Kurasa itu hal yang sepadan, bukankah mereka dikenang hingga saat ini?”

“Tentu saja, tapi menurutku ada hal yang lebih dari pada itu. Aneh juga mengenang seseorang karena kebodohan yang pernah ia lakukan, atau kekejaman dan lain sebagainya. Lagi pula uang, kekayaan, nama yang masyhur tak menjamin kebahagiaan. Uang bukanlah satu-satunya sumber kebahagiaan, ia hanya alat yang digunakan orang-orang untuk menciptakan hal-hal yang menyenangkan. Dan kau bilang uang dapat membuat orang berbahagia?”

“Aku tak bilang begitu, tapi aku pernah membaca di internet mengenai orang-orang yang mampu bertahan hidup tanpa uang sama sekali. Aku tak dapat memahami pemikiran mereka, bagaimana mungkin orang bisa hidup tanpa uang? Apalagi di zaman seperti saat ini. Aneh sekali. Tidak. Tanpa uang segala sesuatunya menjadi sangat rumit.” Kata Frans.

“Bagus sekali, kau mulai menunjukan kecerdasanmu.”

Frans mengangguk-angguk.

“Kau, apa yang kau cari?” katanya lagi.

“Aku sedang mengusahakannya. Aku ingin menjadi orang yang mengerti kehidupan terlepas dari kenikmatan dunia dan tetek bengeknya. Kau tahu, setiap orang perlu menjadi bodoh sebelum ia pandai. Dan beberapa kebodohan lain lagi agar ia mencapai titik kedewasaan.”

“Lantas bagaimana dengan impian terbesar itu?”

“Aku belum tahu. Aku tengah mencoba memahami semua yang terjadi.”

Frans menghela nafas seraya menatap sekeliling kamar yang dipenuhi buku dan kertas berserakan di rak buku, meja dan lantai.

“Tom, kau perlu sedikit udara segar.”

“Apa kau bilang?”

“Kubilang, kau benar-benar harus melihat dunia luar. Sudah hampir dua minggu lamanya kau berada dirumah terus. Keluarlah sekali-sekali. Lihatlah dunia dan kehidupannya secara langsung. Kau bisa pergi menonton bioskop, atau bersantai dikedai-kedai ditepian jalan itu. Siapa tahu, diluar sana, kau akan bertemu gadis-gadis cantik dan hal-hal menarik lainnya. Bersenang-senanglah.”

“Tak ada hal yang menarik bagiku diluar sana.”

“Aku tahu, tapi tak tersentuh matahari dalam waktu yang lalma dapat mengganggu kesehatan fisik dan mental.”

“ Jadi kau bilang aku gila?”

“Ya, mungkin saja dalam beberapa minggu ke depan.”

“Baiklah. Ku rasa kau benar juga, aku mulai bosan berada di rumah terus-terusan.” Kata Tom.

“Ya, setidaknya kau bisa menyegarkan pikiran dan meluaskan pandanganmu.”

“Frans, kau tahu dimana tempat membeli peralatan berkemah?”

“Aku tak tahu, kau tanya saja pada orang-orang dijalan.”

Tom meraih jaket yang tergantung dibalik pintu dan menutupi kepalanya dengan topi. Lantas berjalan menuju pintu.

“Kau mau kemana?”

“Seperti katamu, aku mau mencari udara segar.”

“Bagus kalau begitu. Nanti aku menyusul. Ada tempat minum baru di sudut jalan sana.”

“Ah, aku sedang diet gula.”

“Lantas, kemana?”

“Perpustakaan.” Katanya seraya berlalu.