Jumat, 26 Juli 2013

Mengenang Seorang Sahabat

To: Our friend in time, Marcell Owoc Retip
Hujan baru saja berhenti meninggalkan langit gelap tanpa bintang dan udara dingin menyelimuti permukaan bumi. Sementara suara jangkrik dari kejauhan mengisi malam yang sepi. Rumah-rumah di desa itu berjejer rapi dalam cahaya remang tanpa seorangpun yang terlihat di luar. Seorang lelaki membuka pintu dan menuju warung di seberang jalan yang sepi, membeli beberapa batang rokok dan kembali duduk di kamar yang sempit menghadap laptop. Ia berencana menuliskan sesuatu namun tetap saja layar laptop itu bersih seperti semula. Sambil mengetukan jemari di meja kayu dan menghisap rokok untuk membantu melewati beberapa jam sebelum malam semakin larut dan bersiap untuk tidur.
Ia berpikir tentang perjalanan hidupnya beberapa tahun terakhir ini. Bagaimana ia memasuki perguruan tinggi, memperoleh pengalaman-pengalaman yang berbeda, tahun-tahun menegangkan pada awal kuliah dan berubah menjadi rasa bosan yang luar biasa, atau ketika melewatkan malam-malam yang sepi di sebuah rumah sakit, bukan hanya sekali tapi berkali-kali. Entah apa yang terjadi pada pria ini. Semua itu terlintas dalam pikirannya. Ia teringat beberapa percakapan yang terjadi pada masa lampau.
“Hey, Gus, kau sibuk hari ini?”
“Tidak juga. Kenapa, Ben?”
“Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat. Pasti kau suka.”
“Kemana?”
“Ayo, ikuti saja aku.”
Pada mulanya, Ben bukan orang yang aneh. Layaknya lelaki normal pada umumnya, ia memiliki pacar dan bekerja di sebuah perusahaan besar di negeri ini. Namun, seperti yang akan kau ketahui nanti, tiap manusia memiliki kekurangan.
Mereka berkendara ke suatu tempat. Banyak kendaraan yang parkir, tapi tempat itu gelap. Suara musik dari kejauhan terdengar berisik. Gus mengekor Ben melalui sebuah pintu kaca hitam. Banyak orang di ruangan itu, tapi sulit sekali melihat wajah mereka. Dentaman musik begitu keras menghantam jantung, menimbulkan perasaan ingin muntah. Namun, sebentar saja, Gus mulai terbiasa dengan suasana dalam kelab malam itu. Ben menarik tangannya menuju sebuah meja kosong yang terletak di tengah-tengah ruangan.
“Gus. Maaf aku mengajakmu ke tempat seperti ini.” Katanya berteriak agar suara kedengaran.
“Tak apa. Lumayan, tambah pengalaman.”
“Kau minum apa?”
“Terserah saja.”
Ben memanggil seorang pelayan yang mengenakan baju ketat dan rok mini. Dadanya bagai buah pepaya ranum. Perempuan itu segera kembali dengan  empat buah botol bir hitam dan sebungkus rokok. Sementara perempuan satunya membawa dua buah gelas besar berisi es batu.  Ben membisikan sesuatu pada pelayan itu, yang disambut dengan senyuman nakal.
“Rokok?”
“Boleh.”
“Gus, hari ini kan ulang tahunmu. Aku sengaja mengajakmu ke tempat ini, untuk memberi kejutan padamu.”
“Baiklah.”
“Tapi masih ada satu kejutan lagi.”
Ben menelepon. Tak lama kemudian seorang pria tiba. Lelaki dengan wajah bersih itu ku perkirakan berusia dua tahun lebih muda dari Ben dan aku. Gerakannya pelan namun pasti. Posturnya tegap dengan dada lebar, meski lebih pendek. Ia duduk dengan kedua lengannya di letakkan di atas meja sehingga kulitnya yang putih bersih terpancar cahaya. Gus sedikit bingung, entah apa lagi yang terjadi setelah ini.
“Gus, perkenalkan, Sebastian.” Pria bernama Sebastian itu bangkit menjabat tangannya.
“Gus.” 
“Kita sudah bersama selama bertahun-tahun.” Kata Ben. “Jadi, ku pikir kau benar-benar seseorang yang dapat dipercaya.”
“Tunggu dulu.” Potong Gus. “Apa maksudnya ini?”
“Dengarlah dulu. Aku ingin mengatakan padamu, bahwa selama dua tahun ini, aku telah menjalin hubungan dengan Sebastian.”
Pria itu mengangguk dan melemparkan tatapan aneh pada Ben.
Gus terdiam, wajahnya pucat. “Maksudmu...?”
“Ya. Kau benar.”
“Ya, ampun! Kau bercanda Ben?”
“Tidak. Aku serius. Bagaimana menurutmu?”
Gus tercekat, apa yang harus ia katakan. Sementara pikirannya dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan yang tiba-tiba saja meledak di kepalanya sehingga ia bingung sendiri mana yang mesti ia jawab dahulu. Gus hanya mengangguk menyeringai. Malam itu berlalu dengan peristiwa teraneh dalam hidupnya. Malam itu, ia terpaksa menginap di kos-kosan seorang teman di ujung kampus.
“Kau serius dengan ucapanmu kemarin malam?” Kata Gus pada suatu pagi di kampus. Sepertinya ia masih tak percaya dengan pendengarannya.
“Maaf kalau hal itu terdengar sangat gila.”
“Bukan sangat gila, tapi benar-benar gila! Setelah sekian lama kita tinggal serumah, dan kau merahasiakannya dariku. Aku tak sanggup membayangkan kalau-kalau kau pernah melakukan hal itu padaku, mungkin saja saat aku tertidur lelap, atau bagaimana...”
“Kau sungguh-sungguh berpikir begitu?”
“Tidak, aku hanya membayangkannya.”
“Dengar, Gus. Kau sahabat terbaiku. Percaya padaku, aku tak kan melakukan hal itu padamu. Lagi pula, kau tidak terlalu menarik. Pantatmu rata bagai jalanan aspal yang masih baru.” Ujar Ben menggoda Gus sambil tertawa.
“Sialan kau, Ben.”
“Percayalah, aku mungkin berbeda dan kau tak bisa menerimanya, tapi aku telah berterus terang padamu. Kau dengar, tak seorangpun tahu masalah ini kecuali kau seorang. Kenapa? Karena aku mempercayaimu. Kau bagai saudara bagiku. Percayalah padaku, Gus. Aku sengaja merahasiakan perihal diriku karena aku takut kehilangan sahabatku.”
“Sulit dimengerti.”
“Aku tahu. Jadi, apakah kau akan memutuskan persahabatan kita?”
Gus berjalan mondar mandir dengan telunjuk di keningnya.
“Aku tahu kau berbeda,dan aku mengerti tak semudah itu memutuskan persahabatan yang sudah terjalin lama. Terus terang, Ben. Aku juga merasa nyaman bersahabat denganmu dan tak pernah sekalipun kau menyusahkanku dengan sengaja kecuali perkara shampoo itu.”
“Ya, ya, aku tahu itu.”
“Sudahlah, jangan di bahas lagi. Kau tetap sahabatku dan kita tetap tinggal satu rumah, hanya saja kau harus pindah ke kamar lain. Dan jangan macam-macam.”
“Tenanglah, percaya saja sama sahabatmu ini, Gus. Ku harap semua ini tak menganggumu lebih lama lagi.”
“Ya, selama kau tidak macam-macam”
“Tenang saja, yang penting kau jaga pantatmu.”
“Sialan kau, Ben”
Gus tersenyum. Sudah sepuluh tahun berlalu sejak hari itu. Ia kembali ke kampung halamannya, sementara tak ada kabar dari Ben. Mungkin saja Ben saat ini tengah menikmati malam yang indah bersama kekasihnya, Sialan, pikir Gus.
Ketukan keras di pintu membuyarkan lamunan Gus. Ia membuka pintu, dan sebentuk wajah familiar munculdari keremangan malam dengan senyuman lebar di wajah orang itu.

“Oh, tidak. Kejutan apa lagi kali ini?” pikir Gus.

PERCAKAPAN ANGIN


Aku pernah mendengar seseorang mengatakan bahwa inti semangat manusia berasal dari setiap pengalaman baru, entah melakukan perjalanan ke suatu tempat yang belum pernah didatangi sebelumnya atau suasana baru meski tetap berada di tempat yang sama. Oleh karena itu, aku ingin sekali melakukan perjalanan. Seperti seorang backpacker dengan tas ransel besar, yang menjadi ciri khas mereka,  di punggungnya, menemukan tempat-tempat baru dan kehidupan baru yang biasanya berbeda. Dan yang luar biasa, para pelancong ini kemudian menuliskan pengalaman mereka ke dalam buku sehingga dapat dinikmati oleh banyak orang dan menyebarkan semangat yang sama.
Aku menyebutnya Rencana Besar. Aku bersiap dengan segudang rencana dan berbekal uang seadanya untuk melakukan petualanganku sendiri. Aku banyak membaca bermacam petualangan yang dilakukan orang-orang dari internet dan membakar diri dengan api semangat yang menggelora. Orant-orang itu mengatakan bahwa petualangan yang mereka lakukan merupakan bagian dari panggilan hidup dalam upaya menyelami arti kehidupan. Namun, hingga hari ini, aku belum juga memahami pola pikir mereka dan bagaimana mereka memulai semua itu. Walau dalam internet, mereka memaparkannya dengan gamblang, ku pikir, aku tak cukup cerdas menyelaminya.
Hingga suatu hari, saat yang kunanti-nantikan tiba seiring dengan libur panjang akhir semester datang. Aku bersiap dengan keraguan melanda hatiku. Namun, rencana terkadang tak bersesuaian dengan kenyataan. Aku mendapati diriku tengah terdiam duduk dalam kamarku yang sempit, menghadap meja sambil memikirkan apa yang harus ku lakukan ke depannya. Mungkin aku tak punya cukup keberanian untuk memulainya atau banyak hal lain yang tak ingin kukatakan padamu. Pada dasarnya, setiap manusia melakukan perjalanan dalam kehidupannya yang singkat ini. Entah dengan merantau ke negeri asing atau bepergian melalui pengalaman spiritual yang tak ku mengerti, sambil tetap menjalani rutinitas yang semakin lama semakin menjemukan.
Sudah beberapa tahun ini aku merasakan ada yang salah dengan diriku. Mungkin kau lebih mengerti keadaan yang ku alami, maksudku, ketika kau tidak bekerja sehingga tak satu rupiah pun mengalir dalam dompetmu yang bahkan sudah tak berbentuk sejak hari itu. Melewati hari-hari dengan menulis sesuatu yang tak ada artinya. Namun, semua itu memberiku semangat untuk melakukan sesuatu. Sebagaimana yang kau ketahui juga, masalah itu bukanlah satu-satunya masalah yang ada. Setiap hari kau mencoba mencernanya dengan pikiranmu, tiba-tiba, kau tersesat dalam kebingungan dan mendapati mereka bagai jutaan bintang yang bertaburan di langit malam.
Kau tahu, ketika sinar matahari di ufuk timur mulai merekah, aku hanya bisa memandanginya. Dalam hati terbersit sebuah pemikiran, kalau saja aku bisa menyaksikan pertunjukan terhebat dari alam semesta ketika memulai hari yang baru di suatu tempat yang berbeda. Aku tak tahu dimana perbedaannya dan bagaimana rasanya. Mungkin kau telah mengalaminya jutaan kali dan hal ini bukan lagi sebuah kejutan. Segera sesuatu yang hebat dan luar biasa menjadi hal biasa dan sederhana. Ku pikir, setiap orang memiliki keharusan dalam menyelami hal-hal sederhana di dunia ini dengan tetap mensyukuri apa yang tersedia. Kau tahu, manusia bukanlah spesies yang mudah menerima apa yang terlihat. Selalu menginginkan yang lebih dari pada itu. Justru, disitulah letak kehebatan manusia.
Pernah suatu ketika aku tengah duduk menikmati sinar matahari sore di tepi hamparan padi yang memantulkan sinar keemasan. Angin sepoi-sepoi membelai wajah dan menerbangkan angan mengatasi gunung yang di kejauhan bagai tumpukan benda berwarna hijau tak beraturan, maaf, jika penggambaran yang ku katakan ini tidak memenuhi angan-anganmu yang tak terbatas. Setidaknya, pengalaman itu memberikan angin baru bagi jiwaku yang mulai layu. Aku melemparkan sebuah pemikiran keluar dari hatiku, tentang bagaimana dunia ini berputar dan berjalan sesuai dengan arahan tangan-tangan yang menulisnya. Tapi, adalah suatu kebodohan jika kau mencoba memahami seluruh pertunjukan ini.
Tiba-tiba, desir angin membisikan sesuatu, “Apa yang kau lakukan disini, anak muda?” Aku terhenyak, ku pikir suara itu milik seseorang yang melintas di jalan kecil di belakangku. Aku menoleh tapi tak menjumpai seorangpun. Lalu dengan sedikit keberanian yang masih tersisa aku menjawab, “Aku mencoba memahami keindahan yang ditujukan alam padaku. Oh,betapa besar, betapa luar biasanya semua ini. Tapi, siapakah engkau?” Ia berkata lagi, “Aku adalah angin, yang bepergian melintas ruang dan waktu. Aku baru saja melalui sebuah padang hijau dengan beberapa anak manusia asyik bermain-main dan mengucapkan syukur karena memberikan mereka perasaan tenang, tapi mereka tak mengatakan sesuatupun padaku. Ketika ku saksikan seorang manusia menatapku, aku mendekatimu, karena ku lihat wajah yang murung dan hati yang bersedih.  Aku ingin sekali berbicara pada manusia, karena mereka menyimpan banyak rahasia. Lagipula, sudah lama sekali aku tidak berbicara pada manusia.” “Kalau begitu, apa yang bisa ku katakan padamu?” kataku. “Kau tahu, terkadang kesedihan timbul tanpa sebab yang pasti. Dan tiba-tiba saja kau merasakan sesuatu yang berbeda bergejolak di dalamnya.” “Aku tidak mengetahui segalanya, namun, aku dapat membaca hati dan pikiran setiap manusia. Hanya saja, sedikit dari mereka yang mampu menanggapi apa yang hendak ku katakan.” “Kalau begitu, apakah kau juga mengetahui perjalanan hidupku dan impian-impian besar yang tersimpan rapi dalam pikiranku saat ini?” “Tentu saja, aku bahkan menyaksikan kelahiranmu. Aku selalu bahagia ketika seorang manusia terlahir di dunia. Oleh karena itu aku membuka jalan bagi cahaya mentari dengan menyibakkan awan, sahabat karibku, sehingga manusia itu dapat melihat cahaya yang memberi kehidupan padanya.” “Indah sekali.” Kataku. “Ya, benar sekali, sebagai mana juga saat kau di lahirkan.” “Seperti yang kau katakan tadi, dengan mengetahui banyak hal, rahasia setiap orang contohnya, apakah hal itu memberikah kebahagiaan bagimu?” “Tidak.” Katanya. “Justru aku merasakan betapa manusia kala ini berbeda dengan manusia yang pernah ku kenal dulu. Mengerikan sekali.” “Kenapa?” tanyaku. “Kau tak ingin mengetahuinya.” Jawabnya.
Tak terasa, malam menjelang. Sang angin pergi entah kemana. Aku kembali ke rumah dengan perasaan senang bercampur aneh. Aku tak menyangka, manusia dapat berbicara dengan angin. Malam itu, seperti biasanya, aku duduk kembali di dalam kamarku yang sempit dengan hati berdebar-debar. Aku tahu, esok akan lebih menarik dari hari ini. Malam semakin larut, setelah makan malam, aku pergi tidur.
Cahaya pertama matahari pagi menerobos masuk ke kamarku. Hangat. Aku tak sabar ingin bertemu lagi dengan teman baruku. Rutinitas pagi seperti biasanya ku lakukan dengan semangat. Banyak hal yang kukerjakan sehingga nanti aku punya bermacam kisah yang bisa kuceritakan. Tapi, sebelum tengah hari, langit menjadi gelap dengan awan kelabu bergulung-gulung di angkasa. Membuat pemandangan menjadi menakutkan, dan titik-titik air menerjang permukaan bumi dan segala yang ada di atasnya. Aku hanya bisa memandang melalui jendela yang basah sambil berharap semoga hujan tak bertahan lama agar aku tak perlu melewatkan hari ini dalam kekecewaan. Syukurlah, beberapa jam setelahnya, sinar matahari kembali muncul berkilauan.
Sore itu, pada jam yang sama seperti kemarin, aku datang lagi ke persawahan. Kali ini sebuah buku novel di tanganku. Aku tak tahu hendak ku apakan buku itu, hanya saja, perasaanku mengatakan harus membawanya. Beberapa menit kemudian, angin sepoi berhembus. Menelisik dedaunan padi yang menguning, dan menghampiri wajahku. Aku menunggu.
“Apa kabarmu hari ini, kawan?” Aku tahu suara itu. “Aku merasa berbeda.” Kataku. “Senang sekali mendengarnya.” “Kalau kau punya sedikit waktu, mau kah kau menemaniku sekedar berbincang sebentar?” “Tentu saja.” Aku menceritakan padanya kegiatanku hari ini dan apa saja yang telah kulalui. Ku katakan juga padanya tentang hujan lebat siang tadi. “Oh,” katanya, “Ia tak kan menyakitimu. Sang awan sedang melaksanakan tugasnya.” “Jadi, setiap kalian memiliki tugas masing-masing? Apakah tidak membosankan melakukan hal yang itu-itu saja, seperti menurunkan butiran-butiran air atau menghembusi berbagai belahan dunia dengan angin mu?”
“Tentu tidak. Itu sudah menjadi tugas kami. Dengan senang hati kami melakukannya karena kami mencintai manusia.” “Tentu saja.” Kataku. “Kalian tak memiliki masalah seperti yang kami hadapi.” “Perlu banyak belajar agar kau mengerti.” Sahutnya. “Kami memiliki masalah, namun apakah dengan masalah itu kau akan berhenti melakukan apa yang harus kau lakukan, tidak bukan?” “Ya, kau benar sekali. Kau katakan tadi kalian mencintai manusia, lalu bagaimana dengan bencana-bencana yang terjadi waktu-waktu ini, mereka mengatakan alam sedang menunjukan kemarahannya. Bagaimana kami tahu kalau kalian memiliki cinta jika tanpa segan-segan membunuh manusia?”
Angin berhembus pelan.
“Kebanyakan manusia menyalahkan kami atas apa yang menimpa mereka.” Katanya. Aku menanggapi, “Sudah sepantasnya.” “Aku ingin menceritakan sebuah kisah.” Katanya. “Pada suatu ketika, seorang manusia menemukan sebuah mesin. Mereka semua berbahagia karena dengan mesin ini pekerjaan mereka menjadi lebih mudah. Selain itu, apa saja dapat mereka lakukan. Seiring berjalannya waktu, berbagai jenis mesin dan benda-benda lainnya muncul di muka bumi, sementara keinginan manusia semakin bertambah-tambah melebihi yang dapat dibayangkan sebelumnya. Keserakahan meracuni pikiran mereka. Mereka saling membunuh, saling menghancurkan dan saling menguasai. Kemudian dengan alasan meningkatkan taraf hidup, mereka mulai merambah alam; hutan-hutan dan tanah, menebangi pepohonan dan memusnahkan segala makhluk hidup di dalamnya. Bukit dan gunung-gunung yang gundul bagai orang tak berambut. Kau lihat saja, sampah-sampah bertebaran dimana-mana sehingga sungai yang bening menjadi sumber kematian. Kemudian awan melakukan tugasnya, memberi titik air bagi manusia. Sebagaimana aku, sang awan juga hanya melakukan apa yang harus ia lakukan, ketika pepohonan yang menjadi bagian penting dalam tugasnya tak ada lagi, kau tahu bagaimana akibatnya jika... Bukan kah hal itu ada dalam buku pelajaranmu, ketika penyerapan tak dimungkinkan lagi, maka segala air yang tergenang akan melanda apa saja yang dilaluinya? Mereka mengutuki kami, manusia-manusia itu.”
“Apakah kau marah dengan makian yang mereka ucapkan?” “Aku tak tahu, kami tak memiliki emosi seperti itu. Hanya saja, terkadang manusia itu lebih bodoh dari yang dipikirkan.” “Kenapa begitu?” “Karena mereka mengetahui segala sesuatu, tapi keserakahan membutakan mata mereka, sehingga... kau tahu.” Ia tak melanjutkan ucapannya. “Tapi tak semua manusia seperti itu.” Kataku berusaha membela diri. “Tentu saja.” Ujarnya.
“Bisakah aku berkata-kata dengan sang awan?” “Kapan saja kau mau. Ku rasa ia tengah sibuk saat ini. Kau lihat di sebelah barat, awan hitam dengan dinding kelabu hingga ke permukaan bumi.” “Bisakah ia mendengar apa yang kita bicarakan sekarang ini?” “Tidak, teman. Ia terlalu jauh untuk mendengar.”
Aku meletakkan buku yang ku bawa di sampingku. “Kau tahu buku ini?” kataku.”Aku membaca di dalamnya tentang seorang pemuda yang berbicara pada angin di padang gurun.” “Ya, aku mengenal pemuda itu.” “Benarkah?” kataku tak percaya. “Tentu, hanya saja kejadian itu sudah sangat lama.” Aku terdiam, hati ku mengatakan sesuatu tentang pujian. “Kau baik sekali.” Katanya seolah membaca pikiranku. “Oh, aku melupakan sesuatu, kau dapat membaca pikiran manusia.”
“Apakah kita dapat berteman selamanya?” kataku. “Selama yang kau inginkan. Selama kau memberi waktu untuk mendengarkan suara hatimu.” Kenapa begitu?” “Karena hatimu adalah sumber kehidupan. Ia merupakan roh TUHAN yang tinggal dalam manusia.” “Tapi bagaimana jika hatiku mengatakan sesuatu yang jahat?” “Itu pikiranmu yang bertindak seolah ia adalah suara hati.” “Aku tak mengerti.” “Kau akan mengerti pada waktunya nanti.”
“Apakah kau melihat seorang manusia ketika ia mati?” “Selalu.” “Bagaimana?” “Kami akan menangis dan sang awan akan menurunkan hujan karena kesedihannya. Namun kami juga berbahagia, karena orang itu telah menyelesaikan tugasnya dimuka bumi dan ia kembali kepada sang Penciptanya.” “Sudah berapa lama kau di sini?” “Sejak dunia diciptakan.”
Sejak hari itu, aku selalu melewatkan hari berbicara padanya. Semua orang memandangku dengan tatapan aneh saat aku menyusuri jalanan sempit menuju rumahku. Mereka berbisik-bisik. Ku dengar sekilas, mereka mengatakan aku gila atau orang yang menyedihkan, dan yang lain mengatakan aku terlalu banyak berpikir sehingga kehilangan kesadaran.

Aku tak perduli apa yang mereka pikirkan tentangku. Mereka tak memiliki yang ku miliki. Angin pernah mengatakan, menjalani hidup butuh keberanian. Apapun yang kau lakukan, selalu ada pengalaman baru. Mungkin dengan begitu, aku harus melupakan perjalanan yang pernah ku rencanakan dan membiarkan Rencana Besar itu terbang bersama angin. Karena  kini, aku dapat pergi kemana saja melalui pikiranku. 

KAMAR NO. 51


Ruangan itu tidak terlalu besar. Jika kau masuk melalui satu-satunya pintu dengan gagang yang sudah mulai goyang, kau akan mendapati sebuah meja kayu berwarna cokelat berukuran dua meter dengan lebar tidak sampai satu meter dengan sebuah mesin ketik di atasnya. Dan lagi, sebuah kursi kayu reyot tersimpan rapat di dekat meja tadi dimana buku-buku tebal dan kertas-kertas berserakan. Disebelah meja itu, diletakkan sebentuk sofa berwarna biru langit yang terlihat masih baru. Menghadap ke kiri, lemari tempat menyimpan buku berdiri tegak di samping jendela yang menghadap ke arah jalanan yang selalu ramai, sehingga pemandangannya tidak begitu membosankan. Sementara seluruh dinding beton ruangan itu di tempeli dengan berbagai potongan halaman majalah, kliping koran, dan foto-foto yang tidak menarik dan jumlahnya begitu banyak sehingga kau pikir tak kan sanggup memperkirakan jumlah mereka. Meskipun sempit, udara di ruangan itu cukup segar walau cuaca diluar terasa panas. Lebih ke dalam lagi, terdapat sebuah ruang yang dipisahkan dari ruang utama oleh sebuah gorden hijau rumput. Disana terdapat sebuah kasur kecil dan dua buah bantal tersusun rapi dan seprei hijau menutupinya. Tak ada jendela di situ, hanya sebuah kipas angin kecil yang terletak di atas meja kecil. Sementara lampu tidur yang menempel di dinding sudah rusak karena tidak pernah digunakan lagi sejak beberapa tahun yang lalu. Aneh juga membayangkan seseorang pernah hidup di sini selama bertahun-tahun.
Aku tak benar-benar mengenal kakekku. Aku hanya mengetahui dari cerita orang-orang yang mengenalnya secara langsung. Kata mereka, kakekku seorang yang gagah berani, penerima medali tertinggi di kemiliteran. Meski pada akhirnya, tak seorangpun yang tahu keberadaannya. Ia seolah menghilang ditelan bumi. Bahkan kedua orang tuaku tak tahu kemana ia pergi.
Dua puluh tahun berlalu, hingga suatu hari, datang kabar dari kota bahwa Letnan Satu Fransiskus Thomas pernah menyewa sebuah kamar di apartemen yang dimilikinya. Aku bergegas berangkat ke kota itu, karena kedua orang tuaku, khususnya ayahku, ingin sekali mengetahui kebenaran tentang ayahnya.
“Jadi anda Mr. Santos yang menelepon ke rumah beberapa hari yang lalu?” kataku seraya menjabat tangan gemuk lelaki itu. Dilihat dari caranya berbicara dan memperlakukan tamu, Mr. Santos menunjukan dirinya sebagai pemilik apartemen yang profesional dan kecerdasan yang cukup tinggi. Sementara citarasa seni yang ia miliki tampak dari desain arsitektur ruangan lobby yang penuh dengan gambar-gambar lekukan dan bulatan simetris yang tampak aneh bagiku dan perpaduan warna yang beragam, membuat tempat itu tak dapat dilewatkan untuk di lihat.
“Ya, benar sekali.” Sahutnya dengan ceria. “Anda pasti Albert Yohanes Thomas.”
“Benar sekali. Panggil saja Albert. Maksud kedatangan saya kemari untuk mengecek keberadaan kakek saya yang kabarnya, dua puluh tahun yang lalu, pernah tinggal disini.”
“Tentu saja, saya diminta untuk menyampaikan sebuah pesan langsung kepada anda. Anehnya, pesan itu berasal dari ayah saya yang telah meninggal sepuluh tahun yang lalu. Ia memberikannya melalui pengacaranya sebelum meninggal. Sebentar, biar kita periksa sama-sama. Mari silahkan duduk dulu.” Katanya. Ia melambai pada salah seorang pegawai di balik meja penerima tamu yang kemudian membawakan sebuah buku besar dan tebal yang usianya lebih tua dari pada si pegawai itu. Mr. Santos membuka halaman demi halaman buku itu. Lalu berhenti. “Menurut catatan penghuni apartemen ini, yang saya peroleh dari mendiang ayahku, seorang penghuni pernah tinggal selama beberapa tahun  di sini, tepatnya di kamar No. 51. Letaknya di lantai kedua dan terletak di pojok bangunan ini. Disini tertulis penghuni bernama Fransiskus Thomas, tahun 1985.” Ia melanjutkan lagi, “Tapi ia kemudian pergi pada tahun 1994 dan pergi entah kemana. Itu saja catatan mengenai orang ini. Tak ada dokuman lain atau foto yang tersedia. Kau punya fotonya?”
“Tidak.” Kataku. Aku memandang langit-langit beberapa saat, mencoba memecah kebuntuan. Tapi aku tak menemukan apapun. Semuanya masih terlihat kabur dan jauh dari pada jelas. Semakin dipikirkan, semakin hal ini membuatku bingung.
“Bagaimana kalau kita ke kamar itu sekarang?”
“Wah, maaf Albert. Saya tak bisa masuk begitu saja disana. Saat ini, ada seseorang yang menghuni kamar itu, seorang pensiunan tentara. Saat ini ia tengah berada di luar. Mungkin sebaiknya, kita tunggu hingga ia kembali, bagaimana?”
“Baiklah.”
“Ayahku sering mengajakku ke tempat ini, saat aku kecil dulu, supaya kau terbiasa, katanya. Dan mempertemukanku dengan bermacam jenis orang. Tapi ada satu orang yang menarik perhatianku waktu itu. Seorang pria, aku sudah lupa wajahnya. Yang ku ingat, orang itu sering melewati waktunya minum teh dengan ayahku, dan ia selalu mengelus rambutku dan mengatakan sesuatu tentang kamar No. 51. Tapi aku tak mengerti. Oh, ya, Albert, ngomong-ngomong, bagaimana kau mengenal kakekmu ini?”
“Tidak terlalu, Mr. Santos.” Sahutku. “Aku bahkan tak tahu bagaimana perawakannya. Ia sudah pergi ketika aku lahir. Mungkin saja ia tinggi besar seperti ayahku, yang ku yakini seperti itu, atau juga lebih pendek dari yang ku pikirkan. Namun, dari kawan-kawan sejawatnya dulu, dia seorang yang eksentrik dan berbeda dari orang manapun. Bagai hantu yang penuh misteri, begitu juga dengan kakekku ini. Yang kuketahui dari ayahku, ia lahir tahun 1920. Itu saja. Apa ada keterangan yang anda ketahui dari mendiang ayah anda?”
“Sayangnya, tidak sama sekali, Albert. Aneh juga. Bingung aku memikirkannya.” Kata Mr. Santos mengusap-usap keningnya. “Apa tidak ada dokumen-dokumen mengenai orang ini atau catatan pemerintah?”
“Sayangnya tidak. Pihak kemiliteran menyatakan tidak memiliki apapun selain catatan kelahiran dan tugas selama menjadi tentara. Tak ada lagi yang lain. Lagi pula, pada masa itu, tak ada catatan resmi mengenai seorang warga negara sehingga seseorang bisa saja di lahirkan tanpa catatan hukum. Kecuali informasi dari sanak keluarga, namun, mereka semua telah meninggal.”
Mr. Santos bangkit dari kursinya, lalu dengan sigap berjalan ke arah seorang lelaki bertubuh jangkung dengan dada bidang, usianya kuperkirakan sekitar lima puluhan. Kulitnya kecokelatan terbakar matahari daerah tropis. Langkah kakinya panjang-panjang, bagai seorang pegulat yang siap menghajar lawan. Dan matanya yang tajam bagai harimau yang tengah mengamati mangsanya dari kejauhan, aku tak bisa melupakannya. Ia hendak beranjak naik ke tangga yang menuju lantai atas, namun segera Mr. Santos menghampirinya. Mereka berbicara dan Mr. Santos menunjuk ke padaku dan mereka kemudian berjalan ke arahku.
“Albert, ini Sersan Filipus Martin.” Kata Mr. Santos memperkenalkan kami. “Panggil saja Martin.” Katanya. Setelah berkenalan kami melanjutkan obrolan. “Aku mendengar masalahmu dari Mr. Santos. Apa yang bisa ku bantu?” Mendapat tanggapan langsung seperti itu, aku jadi sedikit gugup. Aku bergerak sedikit membetulkan dudukku. Setelah berbincang-bincang mengenai masalah yang sedang ku tangani dan bagaimana keluargaku ingin sekali mengetahui keberadaan atau nasib terakhir dari lelaki tua yang belum pernah kutemui ini, lelaki itu kemudian berkata, “Tentu saja, masih ada sedikit barang-barang berupa buku-buku dan catatan-catatan peninggalan penghuni terdahulu. Aku sempat hampir membuangnya, namun kupikir lagi, ada baiknya ku simpan saja. Sesekali aku membacanya. Tulisan yang bagus. Aku juga menyimpan sebuah kotak kayu yang terkunci rapat. Anehnya, di sana tertulis namamu. Aku tak berani membukanya karena itu menyalahi aturanku sendiri. Ku pikir, pada akhirnya seseorang akan datang dan mengambil kembali barang-barang itu. Jadi, ku letakkan saja di sudut kamar.”
Kami berjalan menuju lantai atas dimana kamar itu berada. Sepanjang perjalanan menyusuri lorong, Mr. Santos berbicara tentang perkembangan bisnis apartemennya, bagaimana ia melanjutkan usaha ayahnya, meski pada awalnya ia ingin sekali melanjutkan sekolah di sebuah universitas, namun kondisi keluarga yang tidak mendukung, akhirnya ia tidak pergi kemana-mana. Ia juga bercerita tentang klub sepakbola favoritnya yang musim lalu mendapat juara. Aku hanya mengangguk sesekali sambil berpikir apa yang akan ku jumpai. Ada keanehan yang tak dapat dijelaskan dalam masalah ini. Hanya saja, aku dapat merasakannya dalam darahku. Sementara Sersan Martin, seorang veteran perang Vietnam, bergerak dengan langkah mantap tanpa suara dan pandangan lurus kedepan. Tak sengaja ku lihat tato berbentuk jangkar di lengan kirinya yang sudah mulai pudar. Akhirnya, kami tiba di sebuah pintu bertuliskan No 51. Sersan Martin mengambil sebentuk kunci dari saku kirinya, dan memutar anak kunci. Pintu berderak ketika ia membukanya. Ia mempersilahkan kami masuk dan duduk di sofa berwarna biru yang kecil. Ia masuk ke kamar dan kembali dengan buntelan kertas dan tumpukan buku yang sudah terlihat kusam.
“Ini dia. Coba kau periksa.” Katanya sambil meletakan buku-buku itu di atas meja.
Aku bergegas memilah-milah dan melihat-lihat. Hanya ada deretan angka dan huruf-huruf aneh yang tak ku mengerti. Tapi buku lain dengan sampul terbuat dari kulit kayu berisi tulisan yang lebih mirip jurnal atau buku harian. Di sana aku membaca, “24 Agustus 1944, kami terpaksa melewatkan malam disebuah dataran berpasir yang dikelilingi hutan lebat. Hujan turun tanpa henti, sementara kami kelaparan dan kedinginan. Sungguh serasa di neraka. Komandan pasukan kami tewas sementara Melvin, Sersan Kepala, sekarat karena luka yang dideritanya. Aku tak bisa berpikir lagi. Hujan sialan ini merusak pemandangan dan kewarasan. Ku pikir, setiap orang dalam kelompok ini hampir mencapai titik kegilaan.” Aku membalik halaman selanjutnya. “31 Agustus 1944. Sudah hampir dua minggu lamanya sejak kami terpisah dari pasukan induk. Tak ada makanan tersedia atau obat-obatan. Bahkan hampir tak ada lagi tenaga yang kami miliki. Sersan Kepala Melvin terpaksa kami kuburkan di bawah sebuah pohon besar. Seluruh tubuhku sakit dan lelah yang tak bisa dibayangkan lagi. Kami melewatkan malam di sebuah bukit hijau, serangan musuh berhenti sejak dua hari yang lalu, meski malam ini tenang, tapi kami semua ketakutan dengan serangan tiba-tiba sehingga diputuskan untuk berjaga secara bergantian. Komunikasi dengan pasukan induk belum tercapai.” Ku lihat Mr. Santos mengernyit ketika membacanya. Ia berkata, “Ayahku dulu juga seorang tentara, tapi ia bertugas di Eropa.”
“Apa yang kau temukan?” ujar Sersan Martin. Mr. Santos menggeleng. Tak terasa sore menjelang, kami bertiga masih sibuk membuka dan memeriksa kertas-kertas itu hingga lantai dipenuhi oleh kertas yang bertaburan di lantai. Sersan Martin menunjukan sebuah foto hitam putih yang ia temukan di sebuah halaman buku. Dalam foto itu, terlihat sekelompok tentara tengah berpose dibawah bendera kesatuan mereka di antara pepohonan kelapa. Aku membolak balik foto itu berharap menemukan sedikit petunjuk atau tulisan di sana. Benar saja, tertulis sebuah inisial F. T. yang pasti berarti nama kakeku itu. Namun aku tak dapat mengenali wajahnya di antara sekian banyak orang di foto itu.
Di buku lainnya, yang bertuliskan tahun 1985, itu artinya lima tahun sebelum ia menghilang, aku menemukan sebuah tulisan. “Malam ini terasa sangat berbeda dari biasanya. Bintang di langit tak bersinar, seolah menghindari sebuah pertunjukan hebat yang sebentar lagi akan dimulaii. Aku sudah lelah berlari. Walau apapun yang terjadi, tak perduli bagaimana akhirnya, aku sudah memutuskan untuk menyelesaikan apa yang telah ku mulai. Aku tak memikirkan apa-apa lagi, anakku telah hidup bahagia. Aku akan pergi dengan gagah berani. Semoga Tuhan mengampuni jiwaku.”
“Tak banyak yang kita dapatkan.” Kata Sersan Martin kemudian sambil menutup sebuah buku dan meletakkannya di atas buku lain di meja itu. Aku hanya terdiam menatap langit-langit sambil berpikir keras, apa gerangan yang terjadi dengan lelaki tua itu. Ia bertindak seolah-olah sedang di hadang sesuatu yang membahayakannya, tapi apa?
“Bagaimana menurut anda?” tanyaku ke pada Sersan Martin. Ia menarik nafas, menelan ludah dan berkata, “Ku pikir, ia sedang bersembunyi dari sesuatu. Entah apa itu, kita belum mengetahuinya.” “Ku kira juga demikian.” Sahut Mr. Santos. Aku hanya bisa memendam kebingungan yang semakin memuncak. Aku mencoba menelusuri semuanya dari awal. Sebenarnya apa yang sedang terjadi. Mengapa ayahku ngotot sekali ingin mengetahui keberadaan ayahnya sementara sang ayah ini, kakekku, terkesan menghindar dan tak ingin ditemukan, bahkan ketika sesudah ia kembali dari peperangan. Boleh dikatakan, hubungan mereka tidak begitu baik. Anehnya lagi, ayahku tak memiliki satupun foto atau catatan tentang ayahnya.
“Sersan Martin, bagaimana dengan sebuah kotak kayu yang anda sebutkan tadi? Bagaimana kalau kita melihatnya.” Sersan Martin beranjak dari kursinya, lalu kembali dengan sebuah kotak kayu. Dengan sebuah besi pengungkit, ia membuka kotak itu dan kami dapat melihat di dalamnya sebuah  amplop cokelat tergeletak di sebelah kotak kecil dibungkus kain dan terkunci. Aku mengambil amplop itu dan membukanya,di dalamnya terselip beberapa lembar kertas dan dua lembar foto. Dalam foto setengah badan itu, terlihat seorang lelaki mengenakan seragam tentara lengkap. Rambut pendek  dan wajahnya dicukur bersih. Aku melihat tulisan di belakang foto itu; Sersan Fransiskus Thomas, 19 April 1943. Wajah di foto itu berbentuk lonjong dengan hidung besar dan kedua matanya bening besar dan tajam, menunjukan kekuatan jiwa yang tak segan melakukan apapun. Tulang pipi yang menonjol menambah garis-garis di wajahnya semakin jelas dan membuat setiap orang menyadari adanya kegarangan yang tersembunyi di balik wajahnya  yang tenang. Seperti seorang yang telah mengalami latihan fisik terus menerus, kulitnya kecokelatan, dan otot bahu menonjol seperti banteng. Sungguh, masa muda yang menyenangkan.  Sementara foto yang satunya menunjukan seorang lelaki mengenakan topi dan pakaian seperti orang yang sudah lama tak pulang kerumah. Pandangannya sayu layaknya orang yang kehilangan harapan hidup, sepertinya usia tua cukup membuat ia tersiksa dan muak dengan pengalaman-pengalaman buruk yang dialami, namun kegagahan di masa muda masih terlihat dari bentuk fisiknya yang tetap tegap. Jambang memenuhi wajahnya. Foto itu bertuliskan 11 Mei 1984.
Aku mengambil beberapa lembar surat, lalu aku membaca:
Dear, Albert.
Sengaja aku menuliskan padamu tentang hal ini. Ku harap kau baik-baik saja dan ketika kau membaca surat in, aku sudah tak berada di dunia ini. Banyak hal yang mesti ku sampaikan, namun aku tak punya waktu dan kesempatan untuk mengatakannya langsung padamu. Mungkin kau terkejut atau merasa aneh dengan urusan-urusan ini, tenanglah, karena aku akan memberitahukannya padamu hingga semuanya menjadi jelas bagai di siang hari. Urusan ini adalah mengenai sebuah harta terpendam yang belum juga di sentuh namun menjadi rebutan setiap orang yang mengetahui keberadaannya. Banyak orang menginginkannya, tapi dapat ku pastikan, kebanyakan dari antara mereka sudah meninggal pada waktu ini. Kau akan melihatnya sebentar lagi. Kau tahu apa yang harus kaulakukan. Namun aku ingin menceritakan sebuah kisah yang mungkin kalian ketahui berbeda dari kejadian yang sebenarnya.
Pada waktu itu, ketika perang besar pecah dan menyebar hingga ke dunia bagian selatan, banyak pemuda berlomba-lomba mendaftar di kemiliteran, baik karena panggilan negara atau atas dasar kesukarelaan, untuk menunjukan keberanian dan kegilaan yang dimiliki para pemuda berusia rata-rata dua puluhan. Aku juga tak ketinggalan. Aku berangkat menggunakan kereta dan tiba di kota besar dengan bangunan-bangunan tinggi dan gemerlap lampu- lampu yang belum pernah ku saksikan selama hidupku. Kami semua bahagia, aku dan teman-teman sekampung yang ikut mendaftar. Nama mereka: Yones, dengan perawakan kurus tinggi dan wajah panjang.Ia seorang yang ceria dan senang berkelakar. Sementara satu lagi bernama Sagitarius, namanya cukup aneh, menurutku, tapi nama itu cocok dengan orangnya yang pendiam, serius dan tak banyak bicara. Ku pikir ia punya masalah dengan dirinya sendiri. Perawakannya juga tak begitu menarik, badannnya yang agak membungkuk dengan kepala besar, dan wajahnya sedikit bundar, matanya redup bagai lampu di tepi pantai yang tertutup kabut. Namun, sifatnya yang suka membantu dan setia kawan, membuatnya dapat dipercaya.
Kami mendaftar, dan setelah melewati serangkaian tes dan latihan keras, akhirnya kami diterima dan ditugaskan pada kesatuan yang berbeda. Sagitarius, karena kehebatannya dalam mengolah angka dan berhitung, ia bertugas di kesatuan artileri divisi infantri 79, mengepalai beberapa baterai meriam. Sementara Yones, ditugaskan pada pleton 2, divisi infantri ke 34 yang dua tahun kemudian, divisi itu akan di hancurkan oleh pasukan Jepang dalam pertempuran yang menentukan di Pulau Fororo. Dan aku ditugaskan kedalam kesatuan ynag baru saja dibentuk untuk melengkapi kekuatan militer, yaitu Marinir.
Berada di Marinir bukan sebuah kehidupan yang baik. Latihan dan latihan keras hingga kau merasa seluruh tulang di tubuhmu akan copot semua. Kelelahan meraja lela, hingga kau merasa akan mati. Namun, melalui cara itu, penderitaan dan situasi yang sulit, ketangguhan dan kesetiakawanan dapat ditumbuhkan. Begitu yang di katakan oleh pelatih kami.
Beberapa bulan sesudahnya, ketika peperangan semakin menghebat, kami bersiap-siap di kapalkan menuju sebuah negeri di selatan. Kami mendapat latihan keras sehingga di harapkan dapat memberikan performans yang baik, kami keras bagai baja, tak takut bahkan hingga kematian sekalipun, demikian kata pelatih dan komandan kami. Namun, satu hal yang ku sesali, ketika pulang kerumah, aku tak mengatahui bahwa ibuku telah meninggal beberapa minggu. Ayahku juga sakit-sakitan sehingga tak bisa melakukan apapun untuk memberitahukan kabar itu padaku. Jadi, terakhir kali aku melihat ibuku adalah ketika aku hendak berangkat ke kota, dan itu dua tahun yang lalu.
Bangunan dan pelabuhan itu terlihat bagai titik di kejauhan seiring kami menjauh. Aku akan merindukan tempat ini, pikirku. Tapi aku juga merasa senang, karena dengan begini, aku dapatmelihat tempat lain selain kampung halamanku. Beberapa minggu setelah berlayar di laut yang tenang, kami tiba di sebuah pelabuhan. Ku pikir itu tempat yang paling besar yang pernah ku datangi. Di sekeliling, terlihat kapal-kapal besar dengan meriam-meriam sebesar pohon kelapa, berlabuh dengan tenang, sementara kapal-kapal kecil hilir-mudik dengan jumlah ratusan menuju pantai.
Kami tinggal di sebuah barak, dengan kondisi seadanya. Hutan yang rimbun dan hujan lebat turun hampir sepanjang hari. Dan nyamuk menjadi masalah yang tak bisa di selesaikan. Banyak marinir yang kujumpai berada disana dari berbagai asal daerah. Syukurlah, cuaca kembali bersahabat.
Beberapa hari kemudian, kami dinaikan ke kapal, bersiap untuk mendarat di sebuah pulau yang tengah dikuasai musuh. Adapun tujuan kami untuk menyelidiki keberadaan kekuatan musuh dan melaporkannya pada pasukan induk yang bersiap menyerang setelah penyelidikan kami usai. Beberapa hari kemudian, pasukan inti menyerang, sementara kami bertahan di sisi lain pulau itu. pulau yang begitu luas, tidak seluruhnya dapat diselidiki. Aku tak ingin membuatmu bosan dengan kisah yang panjang. Singkatnya, kami terpisah dari pasukan induk dengan sisa personel yang sedikit karena serangan pasukan musuh. Sementara pimpinan pasukan kami tewas, dan kami terlunta dalam rimba tak di kenal. Pemimpin kami selanjutnya tidak terlalu disukai, sersan dengan wajah jelek karena terkena pecahan bom dalam pertempuran sebelumnya, matanya nyalang bersinar bagai hewan buas. Ia selalu berteriak dan tak segan menodongkan pistol pada mereka yang membantah perintahnya. Setiap orang dari kami sangat membencinya. Ia berteman dekat dengan seorang kopral berkebangsaan Amperiga, memiliki tubuh besar dan lengan yang kuat.
Setelah berminggu-minggu lamanya tersesat dalam hutan rimba, kami tiba di sebuah desa di kaki gunung, penduduknya yang mengenakan penutup tubuh dari kulit kayu dan hidup di dangau-dangau yang tergantung beberapa meter di atas tanah, keheranan melihat kami yang mungkin satu-satunya orang asing yang pernah mereka jumpai. Kami berhasil menjalin persahabatan sehingga mereka memperlakukan kami dengan baik. Makanan dan tempat berteduh, kesenangan itu membuat kami serasa di rumah. Suatu ketika, kepala suku memperlihatkan pada kami benda keramat yang mereka miliki. Betapa terkejutnya kami, karena itulah batu permata yang selama ini menjadi incaran berbagai pemburu harta dan harganya benar-benar diluar perkiraanmu. Permata itu berbentuk segitiga bening berwarna biru terang. Beratnya hampir sama dengan sebutir telur ayam. Tak dinyana, timbul pemikiran jahat pada Pablo, sersan yang selama ini memimpin kami, meski aku tak mendengar ia berkata-kata, aku dapat melihat sinar matanya dan air mukanya yang berubah. Sejak malam itu, aku merasa gelisah. Sementara teman karibku, Prajurit Hendrass, mulai menyadari adanya sesuatu yang akan terjadi. Ia seorang religius, rajin berdoa dan tak pernah berkata-kata kasar, tapi keberaniannya tak diragukan lagi melebihi siapapun. Ia berbisik padaku, kalau ia melihat bayangan berkelebat dibawah rimbun pepohonan. Aku menoleh ke arah yang ia tunjuk, dangau kepala suku. Bayangan itu bergerak lagi, tapi bukan hanya satu, ada empat, berjongkok mengendap-endap mendekati dangau. Aku bergegas bangkit lalu mengikuti bayangan itu. Hendrass mengekor sambil membawa senapan ditangannya. Pablo dan pengikutnya mengikat kepala suku dan bersiap meledakkan kepala orang tua malang itu dengan sepucuk pistol, sementara tangan kirinya memegang permata yang amat berharga itu. Tampaknya mereka akan berhasil dengan niat jahatnya, sekonyong-konyong, Hendrass dan aku menerobos kedalam dan mengambil posisi bersiap menembak. “Sersan, apa yang anda lakukan?” kataku. Dengan tatapan dingin, ia menjawab, “Prajurit, kenapa kau disini, bukankah aku memberi perintah kalian untuk berjaga?””Aku sudah lama mencurigai anda akan melakukan hal ini, Sersan.” Ia menyeringai dengan senyuman yang dipaksakan. “Gunakan otakmu, prajurit.” Bentaknya. “Apa artinya hidup kita di tempat ini? Bisa kau jelaskan?! Mereka meninggalkan kita sekarat di sini. Kau lihat, bagaimana hidup kita, bertahan seorang diri, ditinggalkan! Aku sudah muak dengan keadaan yang tak jelas ini. Aku ingin kembali ke rumah dan menikmati hidup dengan hasil keringatku sendiri. Lebih baik kau bergabung bersama kami.” “Hendrass.” Kataku, “Jangan dengarkan ucapannya. Kau ingat bagaimana ia membunuh Petrus sewaktu di hutan dan mengatakan hal itu sebuah kecelakaan? Kau ingat?!” Hendrass tak bergeming, ia memantapkan bidikannya, sedangkan ketiga pengikut Pablo dengan sungguh-sungguh membidik balik ke arah kami.
Setelah beberapa saat melalui pertengkaran, sebuah letusan memecah kesunyian malam. Sang kepala suku terjerembab dengan kepala meledak bertaburan dan darah berceceran di lantai tanah. Aku terpaku dan mematung, sebagaimana juga dengan Hendrass, tak percaya dengan pemandangan yang tengah berlangsung di depan mata. Secepat kilat Hendrass melepaskan beberapa tembakan dan menjatuhkan ketiga pengikut sersan, yang terjungkal dan mendarat di atas genangan darah mereka. Sersan terhenyak dengan peristiwa yang berlangsung dengan singkat itu, lalu menerobos dinding dan menghilang dalam kegelapan hutan. Namun ia menjatuhkan sesuatu, batu permata biru itu. Tanpa berpikir panjang, demi menghindari kepungan penduduk yang mulai berdatangan dengan teriakan menakutkan, kami pun segera pergi menembus hutan belantara. Beberapa minggu kemudian, kami tiba di sebuah pantai, tak jauh dari situ terdapat pelabuhan. Kami merasa bersyukur dan sangat lega ketika melihat sebuah kapal yang sangat kami kenal.
Sepuluh tahun berlalu sejak peristiwa itu, aku pun telah kembali ke tempat asalku dan hidup dengan tenang sambil berusaha melupakan kejadian-kejadian di masa lampau. Aku menemukan rumah kedua orang tuaku sunyi sepi. Ayahku telah meninggal. Tak lama sesudahnya, aku pergi dari situ dan tinggal di sebuah kota untuk memulai hidup yang damai aku menikahi seorang gadis cantik dan melahirkan seorang anak laki-laki, ayahmu. Kuberi ia nama, Yohanes Thomas. Namun, kedamaian yang kuimpikan sepertinya tak kan terwujud ketika pada suatu sore yang cerah, aku tengah berjalan-jalan di taman, sebagaima kebiasaanku pada akhir pekan, dari kejauhan, sebuah wajah yang tak kan pernah bisa ku lupakan, menatapku bagai seekor serigala buas, aku tak perlu memastikan siapa itu, karena aku langsung mengenalinya. Aku kembali kerumah dengan nafas tersengal. Seluruh badanku bergetar karena terror menguasai perasaanku yang mulai lemah. Aku tahu, kematian mendekat, karena beberapa kali aku mengalami kecelakaan, dan aku tahu, semua itu terjadi karena di sengaja. Demi keselamatan keluargaku, aku kemudian memutuskan pergi dan meninggalkan anak dan istriku sambil berpesan kepada mereka aku akan segera kembali. Aku sengaja tak memberitahukan kemana aku akan pergi.
Aku pergi kesana kemari sambil menghindari intaian mematikan dari seorang teman di masa yang lalu. Teman yang tak memiliki belas kasihan atau keinginan untuk berhenti membalas dendam. Aku menghilang, dan pergi ke luar negeri. Mengganti identitasku beberapa kali dan menyamar menjadi orang lain, sungguh bukan kehidupan yang mudah. Aku merasa berdosa karena meninggalkan anakku lelaki yang masih kecil dan bahkan tidak mengenalku sebagai ayahnya. Aku pergi hingga ke negeri selatan, bersembunyi di sana selama bertahun-tahun. Setelah ku rasakan aman, aku kembali ke rumah. Dengan sangat hati-hati aku mengamati rumah tempat isteri dan anakku tinggal. Ingin sekali aku menyentuh mereka dan memeluknya. Namun, aku tak berani mengambil resiko, karena para penjahat itu masih saja mengawasi kalau-kalau aku kembali ke sana. Lalu ku putuskan pergi ke Borneo, sebuah pulau kecil dengan ratusan sungai besar yang terletak di samudera Hindia. Menumpang sebuah kapal ekspedisi Eropa yang mengadakan penelitian ke sana. Aku tinggal bersama suku Dayak yang memiliki cara hidup yang unik dan sangat menarik bagiku. Aku sempat mengadakan penelitian tentang suku ini, keluar masuk hutan sehingga aku mengenal hutan-hutan dan rute-rute rahasia mereka, sekedar untuk mengisi waktu luang yang tak terbatas jumlahnya. Dua belas tahun kemudian, aku kembali lagi kerumah, namun pemandangan yang kulihat sungguh menghancurkan hatiku. Rumah itu roboh dengan atapnya menyentuh tanah. Penghuninya pergi. Ku tanya-tanya pada tetangga, mereka tak mengetahui kemana perginya. Aku mencari-cari hingga berkeliling seluruh negeri ini, namun tak juga ku jumpai mereka. Semoga Tuhan mengampuni jiwaku. Aku berdosa, dosa yang sangat besar. Aku tak tahu lagi apa yang harus ku lakukan. Dengan perasaan terkoyak dan putus asa, aku kembali ke Borneo, dengan membawa batu permata yang tersimpan rapi di sebuah kotak yang khusus ku sediakan. Dalam perjalanan, sebuah kabar yang mengatakan sahabatku Hendrass meninggal dalam kecelakaan pesawat. Namun, aku tahu pasti penyebabnya.
Beberapa puluh tahun berlalu, tak terasa usiaku sudah mencapai 60 tahun. Fransiskus Thomas yang gagah memasuki usia senja dan kekuatan yang telah memudar, seorang tua renta dengan mata yang menyimpan penyesalan dalam hidupnya memutuskan untuk kembali ke dunianya yang hilang. Aku tiba di kota ini sehari sebelum Natal tiba. Membawa batu permata yang langka itu di samping ribuan surat yang kutulis untuk nenek dan ayahmu, tapi tak kukirimkan. Berbekal hubungan akrab di masa silam, aku menghubungi Tuan Petrus Santos, yang merupakan ayah dari Santos sekarang ini. Kebaikannya yang tak bisa di bayangkan dan pertolongannya yang luar biasa membuatku bisa menemukan kembali keluargaku yang hilang. Namun, Sherra, nenekmu, telah meninggal sementara ayahmu, Yohanes Thomas, tinggal di bagian lain kota ini, hidup bahagia bersama keluarga dan putra lelakinya.
Aku pernah berpikir untuk menemui ayahmu, namun aku tak memiliki cukup keberanian untuk melakukannya. Aku hanya mengamatimu dari jauh, ketika kau berjalan di taman atau ketika kau sedang dalam perjalanan pulang dari sekolah. Kau mirip ayahmu dan kau memiliki keberanian yang kumiliki dulu, karena itu aku memutuskan untuk memberitahukan segala sesuatunya kepadamu.
Aku merasa waktuku hampir tiba. Penyakit kanker yang menggerogoti tubuhku semakin membuatku lemah. Kupikir, tiba waktunya bagiku untuk menulis surat pada ayahmu. Mungkin ia sempat tak menanggapi semua permohonan maafku, aku memang tak pantas dimaafkan. Namun, aku ingin, pada saatnya, memberikan sesuatu yang berharga pada keluargaku, pada ayahmu dan kau seorang. Walau aku sadar, tak ada yang dapat menggantikan cinta, perhatian, dan kebersamaan dan aku tak dapat memberikannya pada kalian. Aku sungguh sangat menyesal.
Pada akhirnya, aku memberikan batu ini padamu. Berikan ini pada ayahmu, juallah agar kalian dapat menggunakan uangnya untuk kepentingan kalian dan keluarga kalian selanjutnya.
Maafkan aku, maafkan kakekmu ini.
Peluk hangat dan cinta.
Filipus Thomas.
“Well, kisah yang rumit ya.” Ujar Mr. Santos. Sersan Martin tertegun di kursinya. “Harus ku akui, kisah ini begitu menarik bagiku.” Katanya. Sementara aku hanya terdiam, tak tahu apa yang harus ku katakan. “Setiap orang punya rahasia dalam kehidupannya.” Aku tak mengerti bagaimana kisah ini terbentang di hadapanku dan berlalu begitu saja. Seorang kakek yang bahkan tak pernah ku temui, memberikan sesuatu yang tak ternilai harganya dan nilai seninya. Batu Permata Hutan.
“Akan kau apakan benda ini?” tanya Mr. Santos ketika kami telah kembali di lobby. Aku memutuskan untuk menyerahkannya pada pemerintah, tentu saja atas persetujuan ayahku dan membawa pulang buku-buku kakekku untuk kenangan dan sebagai bahan penelitianku mengenai sejarah saat itu. “Boleh kah aku melihat dokumuen-dokumen itu lain waktu?” kata Sersan Martin. Aku mengangguk. “Kapan saja anda mau.” “Terima kasih.”

Aku bersiap kembali ke kota asalku menggunakan kereta malam. Ketika mendekati stasiun, aku sadar, ada sesosok bungkuk dengan kaki menyapu lantai bermantel tebal hingga menutupi wajahnya mengikutiku sejak dari apartemen hingga ke tempat ini. Aku mengamati sekitarku, namun orang itu menghilang. Aku memasuki kereta. Beberapa jam kemudian, matahari telah bersinar ketika aku menjejakan kaki di stasiun kecil di kotaku. Aku berjalan dengan gontai sambil memikirkan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi.