To: Our friend in time, Marcell
Owoc Retip
Hujan baru saja berhenti
meninggalkan langit gelap tanpa bintang dan udara dingin menyelimuti permukaan
bumi. Sementara suara jangkrik dari kejauhan mengisi malam yang sepi.
Rumah-rumah di desa itu berjejer rapi dalam cahaya remang tanpa seorangpun yang
terlihat di luar. Seorang lelaki membuka pintu dan menuju warung di seberang
jalan yang sepi, membeli beberapa batang rokok dan kembali duduk di kamar yang
sempit menghadap laptop. Ia berencana menuliskan sesuatu namun tetap saja layar
laptop itu bersih seperti semula. Sambil mengetukan jemari di meja kayu dan
menghisap rokok untuk membantu melewati beberapa jam sebelum malam semakin
larut dan bersiap untuk tidur.
Ia berpikir tentang perjalanan
hidupnya beberapa tahun terakhir ini. Bagaimana ia memasuki perguruan tinggi,
memperoleh pengalaman-pengalaman yang berbeda, tahun-tahun menegangkan pada
awal kuliah dan berubah menjadi rasa bosan yang luar biasa, atau ketika
melewatkan malam-malam yang sepi di sebuah rumah sakit, bukan hanya sekali tapi
berkali-kali. Entah apa yang terjadi pada pria ini. Semua itu terlintas dalam
pikirannya. Ia teringat beberapa percakapan yang terjadi pada masa lampau.
“Hey, Gus, kau sibuk hari ini?”
“Tidak juga. Kenapa, Ben?”
“Aku ingin mengajakmu ke suatu
tempat. Pasti kau suka.”
“Kemana?”
“Ayo, ikuti saja aku.”
Pada mulanya, Ben bukan orang yang
aneh. Layaknya lelaki normal pada umumnya, ia memiliki pacar dan bekerja di
sebuah perusahaan besar di negeri ini. Namun, seperti yang akan kau ketahui
nanti, tiap manusia memiliki kekurangan.
Mereka berkendara ke suatu tempat. Banyak kendaraan yang parkir, tapi tempat itu
gelap. Suara musik dari kejauhan terdengar berisik. Gus mengekor Ben melalui
sebuah pintu kaca hitam. Banyak orang di ruangan itu, tapi sulit sekali melihat
wajah mereka. Dentaman musik begitu keras menghantam jantung, menimbulkan perasaan ingin
muntah. Namun, sebentar saja, Gus mulai terbiasa dengan suasana dalam kelab
malam itu. Ben menarik tangannya menuju sebuah meja kosong yang terletak di
tengah-tengah ruangan.
“Gus. Maaf aku mengajakmu ke
tempat seperti ini.” Katanya berteriak agar suara kedengaran.
“Tak apa. Lumayan, tambah
pengalaman.”
“Kau minum apa?”
“Terserah saja.”
Ben memanggil seorang pelayan
yang mengenakan baju ketat dan rok mini. Dadanya bagai buah pepaya ranum.
Perempuan itu segera kembali dengan
empat buah botol bir hitam dan sebungkus rokok. Sementara perempuan
satunya membawa dua buah gelas besar berisi es batu. Ben membisikan sesuatu pada pelayan itu, yang
disambut dengan senyuman nakal.
“Rokok?”
“Boleh.”
“Gus, hari ini kan ulang tahunmu.
Aku sengaja mengajakmu ke tempat ini, untuk memberi kejutan padamu.”
“Baiklah.”
“Tapi masih ada satu kejutan lagi.”
Ben menelepon. Tak lama kemudian
seorang pria tiba. Lelaki dengan wajah bersih itu ku perkirakan berusia dua
tahun lebih muda dari Ben dan aku. Gerakannya pelan namun pasti. Posturnya
tegap dengan dada lebar, meski lebih pendek. Ia duduk dengan kedua lengannya di
letakkan di atas meja sehingga kulitnya yang putih bersih terpancar cahaya. Gus
sedikit bingung, entah apa lagi yang terjadi setelah ini.
“Gus, perkenalkan, Sebastian.”
Pria bernama Sebastian itu bangkit menjabat tangannya.
“Gus.”
“Kita sudah bersama selama
bertahun-tahun.” Kata Ben. “Jadi, ku pikir kau benar-benar seseorang yang dapat
dipercaya.”
“Tunggu dulu.” Potong Gus. “Apa
maksudnya ini?”
“Dengarlah dulu. Aku ingin
mengatakan padamu, bahwa selama dua tahun ini, aku telah menjalin hubungan
dengan Sebastian.”
Pria itu mengangguk dan
melemparkan tatapan aneh pada Ben.
Gus terdiam, wajahnya pucat.
“Maksudmu...?”
“Ya. Kau benar.”
“Ya, ampun! Kau bercanda Ben?”
“Tidak. Aku serius. Bagaimana
menurutmu?”
Gus tercekat, apa yang harus ia
katakan. Sementara pikirannya dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan yang
tiba-tiba saja meledak di kepalanya sehingga ia bingung sendiri mana yang mesti
ia jawab dahulu. Gus hanya mengangguk menyeringai. Malam itu berlalu dengan
peristiwa teraneh dalam hidupnya. Malam itu, ia terpaksa menginap di kos-kosan
seorang teman di ujung kampus.
“Kau serius dengan ucapanmu
kemarin malam?” Kata Gus pada suatu pagi di kampus. Sepertinya ia masih tak
percaya dengan pendengarannya.
“Maaf kalau hal itu terdengar
sangat gila.”
“Bukan sangat gila, tapi benar-benar
gila! Setelah sekian lama kita tinggal serumah, dan kau merahasiakannya dariku.
Aku tak sanggup membayangkan kalau-kalau kau pernah melakukan hal itu padaku, mungkin
saja saat aku tertidur lelap, atau bagaimana...”
“Kau sungguh-sungguh berpikir
begitu?”
“Tidak, aku hanya
membayangkannya.”
“Dengar, Gus. Kau sahabat
terbaiku. Percaya padaku, aku tak kan melakukan hal itu padamu. Lagi pula, kau
tidak terlalu menarik. Pantatmu rata bagai jalanan aspal yang masih baru.” Ujar
Ben menggoda Gus sambil tertawa.
“Sialan kau, Ben.”
“Percayalah, aku mungkin berbeda
dan kau tak bisa menerimanya, tapi aku telah berterus terang padamu. Kau
dengar, tak seorangpun tahu masalah ini kecuali kau seorang. Kenapa? Karena aku
mempercayaimu. Kau bagai saudara bagiku. Percayalah padaku, Gus. Aku sengaja
merahasiakan perihal diriku karena aku takut kehilangan sahabatku.”
“Sulit dimengerti.”
“Aku tahu. Jadi, apakah kau akan
memutuskan persahabatan kita?”
Gus berjalan mondar mandir dengan
telunjuk di keningnya.
“Aku tahu kau berbeda,dan aku
mengerti tak semudah itu memutuskan persahabatan yang sudah terjalin lama.
Terus terang, Ben. Aku juga merasa nyaman bersahabat denganmu dan tak pernah
sekalipun kau menyusahkanku dengan sengaja kecuali perkara shampoo itu.”
“Ya, ya, aku tahu itu.”
“Sudahlah, jangan di bahas lagi.
Kau tetap sahabatku dan kita tetap tinggal satu rumah, hanya saja kau harus
pindah ke kamar lain. Dan jangan macam-macam.”
“Tenanglah, percaya saja sama
sahabatmu ini, Gus. Ku harap semua ini tak menganggumu lebih lama lagi.”
“Ya, selama kau tidak
macam-macam”
“Tenang saja, yang penting kau
jaga pantatmu.”
“Sialan kau, Ben”
Gus tersenyum. Sudah sepuluh
tahun berlalu sejak hari itu. Ia kembali ke kampung halamannya, sementara tak
ada kabar dari Ben. Mungkin saja Ben saat ini tengah menikmati malam yang indah
bersama kekasihnya, Sialan, pikir Gus.
Ketukan keras di pintu
membuyarkan lamunan Gus. Ia membuka pintu, dan sebentuk wajah familiar
munculdari keremangan malam dengan senyuman lebar di wajah orang itu.
“Oh, tidak. Kejutan apa lagi kali ini?” pikir Gus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar