Jumat, 26 Juli 2013

Mengenang Seorang Sahabat

To: Our friend in time, Marcell Owoc Retip
Hujan baru saja berhenti meninggalkan langit gelap tanpa bintang dan udara dingin menyelimuti permukaan bumi. Sementara suara jangkrik dari kejauhan mengisi malam yang sepi. Rumah-rumah di desa itu berjejer rapi dalam cahaya remang tanpa seorangpun yang terlihat di luar. Seorang lelaki membuka pintu dan menuju warung di seberang jalan yang sepi, membeli beberapa batang rokok dan kembali duduk di kamar yang sempit menghadap laptop. Ia berencana menuliskan sesuatu namun tetap saja layar laptop itu bersih seperti semula. Sambil mengetukan jemari di meja kayu dan menghisap rokok untuk membantu melewati beberapa jam sebelum malam semakin larut dan bersiap untuk tidur.
Ia berpikir tentang perjalanan hidupnya beberapa tahun terakhir ini. Bagaimana ia memasuki perguruan tinggi, memperoleh pengalaman-pengalaman yang berbeda, tahun-tahun menegangkan pada awal kuliah dan berubah menjadi rasa bosan yang luar biasa, atau ketika melewatkan malam-malam yang sepi di sebuah rumah sakit, bukan hanya sekali tapi berkali-kali. Entah apa yang terjadi pada pria ini. Semua itu terlintas dalam pikirannya. Ia teringat beberapa percakapan yang terjadi pada masa lampau.
“Hey, Gus, kau sibuk hari ini?”
“Tidak juga. Kenapa, Ben?”
“Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat. Pasti kau suka.”
“Kemana?”
“Ayo, ikuti saja aku.”
Pada mulanya, Ben bukan orang yang aneh. Layaknya lelaki normal pada umumnya, ia memiliki pacar dan bekerja di sebuah perusahaan besar di negeri ini. Namun, seperti yang akan kau ketahui nanti, tiap manusia memiliki kekurangan.
Mereka berkendara ke suatu tempat. Banyak kendaraan yang parkir, tapi tempat itu gelap. Suara musik dari kejauhan terdengar berisik. Gus mengekor Ben melalui sebuah pintu kaca hitam. Banyak orang di ruangan itu, tapi sulit sekali melihat wajah mereka. Dentaman musik begitu keras menghantam jantung, menimbulkan perasaan ingin muntah. Namun, sebentar saja, Gus mulai terbiasa dengan suasana dalam kelab malam itu. Ben menarik tangannya menuju sebuah meja kosong yang terletak di tengah-tengah ruangan.
“Gus. Maaf aku mengajakmu ke tempat seperti ini.” Katanya berteriak agar suara kedengaran.
“Tak apa. Lumayan, tambah pengalaman.”
“Kau minum apa?”
“Terserah saja.”
Ben memanggil seorang pelayan yang mengenakan baju ketat dan rok mini. Dadanya bagai buah pepaya ranum. Perempuan itu segera kembali dengan  empat buah botol bir hitam dan sebungkus rokok. Sementara perempuan satunya membawa dua buah gelas besar berisi es batu.  Ben membisikan sesuatu pada pelayan itu, yang disambut dengan senyuman nakal.
“Rokok?”
“Boleh.”
“Gus, hari ini kan ulang tahunmu. Aku sengaja mengajakmu ke tempat ini, untuk memberi kejutan padamu.”
“Baiklah.”
“Tapi masih ada satu kejutan lagi.”
Ben menelepon. Tak lama kemudian seorang pria tiba. Lelaki dengan wajah bersih itu ku perkirakan berusia dua tahun lebih muda dari Ben dan aku. Gerakannya pelan namun pasti. Posturnya tegap dengan dada lebar, meski lebih pendek. Ia duduk dengan kedua lengannya di letakkan di atas meja sehingga kulitnya yang putih bersih terpancar cahaya. Gus sedikit bingung, entah apa lagi yang terjadi setelah ini.
“Gus, perkenalkan, Sebastian.” Pria bernama Sebastian itu bangkit menjabat tangannya.
“Gus.” 
“Kita sudah bersama selama bertahun-tahun.” Kata Ben. “Jadi, ku pikir kau benar-benar seseorang yang dapat dipercaya.”
“Tunggu dulu.” Potong Gus. “Apa maksudnya ini?”
“Dengarlah dulu. Aku ingin mengatakan padamu, bahwa selama dua tahun ini, aku telah menjalin hubungan dengan Sebastian.”
Pria itu mengangguk dan melemparkan tatapan aneh pada Ben.
Gus terdiam, wajahnya pucat. “Maksudmu...?”
“Ya. Kau benar.”
“Ya, ampun! Kau bercanda Ben?”
“Tidak. Aku serius. Bagaimana menurutmu?”
Gus tercekat, apa yang harus ia katakan. Sementara pikirannya dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan yang tiba-tiba saja meledak di kepalanya sehingga ia bingung sendiri mana yang mesti ia jawab dahulu. Gus hanya mengangguk menyeringai. Malam itu berlalu dengan peristiwa teraneh dalam hidupnya. Malam itu, ia terpaksa menginap di kos-kosan seorang teman di ujung kampus.
“Kau serius dengan ucapanmu kemarin malam?” Kata Gus pada suatu pagi di kampus. Sepertinya ia masih tak percaya dengan pendengarannya.
“Maaf kalau hal itu terdengar sangat gila.”
“Bukan sangat gila, tapi benar-benar gila! Setelah sekian lama kita tinggal serumah, dan kau merahasiakannya dariku. Aku tak sanggup membayangkan kalau-kalau kau pernah melakukan hal itu padaku, mungkin saja saat aku tertidur lelap, atau bagaimana...”
“Kau sungguh-sungguh berpikir begitu?”
“Tidak, aku hanya membayangkannya.”
“Dengar, Gus. Kau sahabat terbaiku. Percaya padaku, aku tak kan melakukan hal itu padamu. Lagi pula, kau tidak terlalu menarik. Pantatmu rata bagai jalanan aspal yang masih baru.” Ujar Ben menggoda Gus sambil tertawa.
“Sialan kau, Ben.”
“Percayalah, aku mungkin berbeda dan kau tak bisa menerimanya, tapi aku telah berterus terang padamu. Kau dengar, tak seorangpun tahu masalah ini kecuali kau seorang. Kenapa? Karena aku mempercayaimu. Kau bagai saudara bagiku. Percayalah padaku, Gus. Aku sengaja merahasiakan perihal diriku karena aku takut kehilangan sahabatku.”
“Sulit dimengerti.”
“Aku tahu. Jadi, apakah kau akan memutuskan persahabatan kita?”
Gus berjalan mondar mandir dengan telunjuk di keningnya.
“Aku tahu kau berbeda,dan aku mengerti tak semudah itu memutuskan persahabatan yang sudah terjalin lama. Terus terang, Ben. Aku juga merasa nyaman bersahabat denganmu dan tak pernah sekalipun kau menyusahkanku dengan sengaja kecuali perkara shampoo itu.”
“Ya, ya, aku tahu itu.”
“Sudahlah, jangan di bahas lagi. Kau tetap sahabatku dan kita tetap tinggal satu rumah, hanya saja kau harus pindah ke kamar lain. Dan jangan macam-macam.”
“Tenanglah, percaya saja sama sahabatmu ini, Gus. Ku harap semua ini tak menganggumu lebih lama lagi.”
“Ya, selama kau tidak macam-macam”
“Tenang saja, yang penting kau jaga pantatmu.”
“Sialan kau, Ben”
Gus tersenyum. Sudah sepuluh tahun berlalu sejak hari itu. Ia kembali ke kampung halamannya, sementara tak ada kabar dari Ben. Mungkin saja Ben saat ini tengah menikmati malam yang indah bersama kekasihnya, Sialan, pikir Gus.
Ketukan keras di pintu membuyarkan lamunan Gus. Ia membuka pintu, dan sebentuk wajah familiar munculdari keremangan malam dengan senyuman lebar di wajah orang itu.

“Oh, tidak. Kejutan apa lagi kali ini?” pikir Gus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar