Jonathan terbangun di pagi hari
dan mendapati semua orang di seluruh dunia telah menghilang.
Hari itu, jam menunjukan pukul
7.15, alarm berdering memenuhi seisi kamar. Dengan malas Jonathan bangkit dan
menuju kamar mandi. Hari-hari yang membosankan segera dimulai kembali,
pikirnya, dan pekerjaan yang menumpuk, ah, ia tak berani membayangkannya.
Jonathan mengenakan pakaian yang sama setiap hari Senin. Kali ini, pakaian yang
ia kenakan lebih besar dan celananya sedikit kedodoran. Ia menyiapkan sarapan
telur dadar dan nasi putih serta susu, beberapa saat kemudian ia siap berangkat
bekerja.
Tapi ada beberapa hal yang terasa
aneh hari itu. Udara terasa lebih segar dari pada biasanya dan hiruk pikuk kota
yang begitu padat tak terdengar. Jonathan mengecek handphone-nya, tak ada pesan
masuk ataupun panggilan tak terjawab. Hanya beberapa pengingat yang menunjukan
betapa akan sibuk ia hari ini. Ia memasuki lift dan memencet tombol lantai
dasar. Biasanya, lift akan berhenti di setiap lantai dan orang-orang
berbondong-bondong memenuhi lift itu hingga penuh sesak, namun kali ini,
semuanya tampak tidak biasa. Mungkin mereka tengah liburan, pikirnya.
Ketika tiba di lobi apartemen
itu, Jonathan merasa heran, karena tak seorangpun ia jumpai di sana. Semuanya
tampak bersih dan rapi, bahkan televisi besar di sebelah booth resepsionis itu menyala tengah menayangkan film yang paling
jelek yang pernah ia saksikan. Jonathan tertegun sesaat, ia menoleh sekeliling.
Kosong melompong. Ia memanggil-manggil, tak ada jawaban. Ia pergi ke ruang
kamera pengawas tempat seorang temannya bekerja, tak ada seorangpun di sana.
Kemana semua orang, pikirnya. Ia berlari ke arah pintu keluar, dan betapa ia
terkejut menyaksikan pemandangan yang langka ini: kendaraan mobil dan motor
terparkir rapi dan sebagian lagi berada di jalanan. Akan tetapi, mobil-mobil
itu sepertinya ditinggalkan begitu saja oleh pengemudinya. Toko-toko dan tempat
minum di tepi jalan dengan meja-meja yang di letakkan di trotoar, buka seperti
biasa, namun tak ada satupun orang di sana. Pendeknya, semuanya tampak normal,
hanya saja, tak seorangpun manusia yang ia jumpai.
Aneh sekali, pikir Jonathan. Ia
mulai mereka-reka pikirannya, apa gerangan yang terjadi. Apakah ini hanya
gurauan? Atau semua orang tengah bermain petak umpet, tapi untuk apa? Apakah
orang-orang di seluruh kota sengaja bersepakat memberikan kejutan padanya,
tepat pada hari ia berulang tahun hari ini? Semua itu tak masuk akal, pikirnya.
Benaknya mulai gelisah dan otaknya mengatakan ada hal yang tak beres terjadi
hari ini.
Jonathan menyusuri jalan yang
setiap pagi ia tempuh menuju kantor. Ia bekerja sebagai akuntan di perusahaan
keuangan yang terletak di komplek bisnis di pusat kota. Setiap hari ia
berangkat pagi-pagi dan kembali ketika senja mulai menyelimuti permukaan bumi.
Sudah dua tahun ini ia tak sempat mengambil cuti. Ia tak ingin kehilangan
kesempatan menabung dan berkunjung ke luar negeri sebagaimana yang selama ini
ia impikan. Jonathan bergegas menuju kantornya, sambil berharap masih ada seseorang
yang ia jumpai di sana. Ia tak perlu berlama-lama di jalan karena tak
seorangpun yang harus ia sapa dengan mengucapkan selamat pagi. Jonathan tiba di
sebuah bangunan yang tinggi menjulang. Layar besar televisi yang terpampang di
depan kantornya, menyala menayangkan iklan asuransi yang baru-baru ini tengah
naik daun.
Tidak, pekiknya ketika ia tiba di
meja resepsionis. Kertas-kertas tersusun rapi. Ia menaiki tangga bergegas
menuju ruangannya. Sama saja. Semuanya kosong melompong. Meja-meja yang berjejer
rapi di sepanjang ruangan yang biasanya dipenuhi seruan orang-orang yang sibuk
bekerja, dengan komputer hitam di atasnya, tampak sunyi sepi. Apa yang
sebenarnya terjadi, pikirnya. Jonathan memencet handphone-nya, menghubungi
seseorang, tak ada jawaban. Ia menunggu. Tetap tak ada jawaban. Ia menghubungi
sahabatnya, Amos. Tak ada jawaban. Pesan-pesan yang ia kirimkan juga tak ada
balasan. Ia juga menghubungi orang tuanya yang tinggal di luar kota, sama saja.
Tak ada jawaban. Jonathan mulai panik, ia berlari keluar. Jalan raya itu
dipenuhi mobil-mobil. Namun mereka tak bergerak. Jonathan berteriak, berharap
ada orang yang mendengar dan menjawab teriakannya. Ia terus berteriak hingga
perutnya sakit dan suaranya tak kuat lagi.
Jonathan masuk ke dalam sebuah mobil
entah milik siapa, lalu berkendara menuju sudut lain kota. Ia berhenti di depan
sebuah apartemen yang dicat warna hijau. Ia segera berlari menuju sebuah kamar.
Namun ia juga tak mendapati seorangpun di sana. Hanya beberapa foto yang
menunjukan seorang gadis cantik bermata indah dengan rambut ikal dan bibir tipis
yang merekah. Flora, tunangannya, ikut-ikutan menghilang. Jonathan menghabiskan
hari itu berkeliling kota, mencari tahu apa yang sekiranya terjadi. Seperti
yang sudah-sudah, ia tak menjumpai seorangpun. Semua hilang, menguap, atau
ditelan bumi, atau entah bagaimana caranya sehingga semua orang tiba-tiba
lenyap.
Namun, dengan begitu, Jonathan
seolah memasuki babak baru dalam hidupnya. Dua hari sejak peristiwa aneh ini,
untuk pertama kalinya, Jonathan merasa dirinya merdeka. Terbebas dari segala
rutinitas pekerjaan yang memuakan, ia tak perlu lagi bangun pagi dan pergi
bekerja atau berpikir untuk membayar hutangnya yang tidak sedikit. Saat ini, ia
berusia 29 tahun dan telah bekerja sejak ia berusia 19 tahun. Tak sekalipun ia
merasa sebebas ini. Ia pergi ke restoran tempat ia biasanya melewatkan malam
minggu, dan makan di situ dengan makanan apa saja yang ia inginkan. Kali ini ia
tak perlu membayar. Ia juga pergi ke toko kaset, memilih sendiri lagu-lagu
kesukaannya dan membawanya pulang. Atau ketika ia membutuhkan pakaian, ia hanya
tinggal pergi ke toko dan mengambil pakaian yang mana saja ia suka, bahkan
pakaian yang tak kan pernah mampu ia beli seumur hidupnya. Atau mobil dan
sepeda motor, ia tinggal mengambil di jalan. Sebagaimana juga dengan peralatan
lainnya, ia tinggal mengambil di toko atau membuangnya ketika ia sudah tak
menyukainya dan mengambil lagi sesuka hatinya. Pendeknya, Jonathan bagai hidup
di dunia mimpi, tak perlu bersusah-susah untuk memperoleh kesenangan, dan ia
benar-benar mahir dalam hal bersenang-senang.
Namun, lepas dari semua itu,
Jonathan mulai merasa gelisah dan kesepian. Beberapa minggu kemudian,
kesenangan dan kebebasan mutlak yang ia peroleh tak lagi mengesankan. Ia mulai
terbangun dengan perasaan malas dan pikiran yang penuh tanda tanya, kemana
orang-orang? Dan apalah arti semua ini jika hanya dinikmati sendirian. Sudah
berhari-hari lamanya ia tak berbicara, atau tertawa-tawa. Ia merindukan
tunangannya, Flora, dan Amos sahabatnya. Ia juga telah berkunjung ke rumah
orang tuanya yang terletak 90 km dari kota, sesuatu yang telah lama tidak ia
lakukan. Jonathan menemukan pemandangan yang tak berbeda. Ia sangat merindukan
mereka. Dan semua kenikmatan ini tak kan berarti apa-apa lagi. Dunia tampak
sunyi sepi. Dalam kemegahannya ia tinggal berdiri dalam keheningan. Dan kali
ini, ia benar-benar sendirian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar