Jumat, 08 Maret 2013

PERJALANAN


 “Semua ini sampah.” Teriaknya.
“Kenapa?” tanyaku.
“Semua teori ini.” Ia mengetukan jarinya di atas buku itu.
“Memangnya kenapa?” Aku masih penasaran.
“Baca saja.” Ia melemparkan buku itu di hadapanku.
Aku membaca sekilas. Tulisan itu berisi teori cara menulis yang mudah. Satu kalimat yang ku baca berbunyi: Jangan bayangkan apa yang akan anda tulis. Tetapi mulailah menulis dan menulis.
“Mungkin ia hanya menganjurkan supaya jangan berhenti berusaha menulis.” Kataku.
“Ya, aku tahu.” Ujarnya sambil mengambil air minum dari dispenser. “Tapi tidak lah semudah yang dipikirkan.”
“Aku tak ingin menyentuh barang ini untuk sementara waktu.”
Ia mengambil buku itu dari tanganku, dengan gerakan berputar ia melangkah ke arah pintu.
“Kau mau kemana?” tanyaku.
“Cari angin.” Jawabnya. Ia membuka pintu dan berlalu.
Aku melanjutkan membaca buku yang ku pinjam dari perpustakaan kampus siang tadi. Seperti biasanya di bulan April yang kering, sinar matahari yang membakar seisi kamar itu mulai membuatku gerah. Aku menutup buku itu, lalu mengambil handuk dan menuju ke kamar mandi.
“Halo.” Jawabku di telepon.
“Kau dimana, Tim?” Fero bertanya dari seberang.
“Dikamar.” Jawabku. “Kenapa?”
“Datanglah kemari.” Katanya. “Ada sesuatu yang harus dibicarakan.”
“Memangnya ada apa?” tanyaku.
“Datang sajalah dulu. Sekarang.”
“Aku lagi mandi.” Jawabku. “Tunggu saja, aku segera kesana.”
“Oke. Ditempat biasa ya.”
“Oke.”
Klik. telepon ditutup.
Aku tidak bisa menebak kira-kira apa yang akan ia bicarakan.
“Ada apa?” tanyaku sesaat tiba di tempat itu.
Tempat itu, kantin tempat kami biasa menghabiskan sore hari dan sabtu malam yang tidak menyenangkan. Hari itu, pengunjung kantin tidak terlalu ramai seperti biasanya.
“Duduklah.” Katanya sambil tersenyum lebar. “Minum apa?”
“Kopi aja deh.” Balasku
“Jadi begini.” Ia memulai pembicaraan. “Libur panjang ini, aku akan melakukan perjalanan.”
“Kemana?” aku menyeruput kopi pahit itu.
“Kepulauan di Pasifik...!” Ia berteriak kegirangan
“Wah, bagus sekali.” Kataku.
“Ya, luar biasa.” Ujarnya.
“Tapi.” Kataku “Bukankah sulit sekali menemukan pesawat yang terbang kesana?”
Ia tersenyum. Matanya berbinar.
“Tidak dengan pesawat. ” Katanya dengan ekspresi wajah misterius.
“Lalu?” Aku penasaran.
“Begini, aku sudah berbicara dengan teman-temanku yang ahli dalam pelayaran ...”
“Jadi, menggunakan kapal?” tanyaku memotong pembicaraannya.
“Sabar dulu.” Ia melambaikan tangannya. “Aku sudah berbicara dengan teman-temanku ahli radio juga dan ahli teknik.”
Ia berhenti sejenak.
“Aku akan berlayar menuju Kepulauan di Pasifik menggunakan rakit.” Ujarnya dengan tenang.
“Kau gila?” kataku.
Ia mengangguk
“Benar-benar gila.” Kataku lagi. “Apa kau tidak berpikir yang akan kau lakukan ini sangat berbahaya?”
“Aku mengerti.” Jawabnya. “Tapi kau lihat, jika aku berhasil melakukannya. Aku akan terkenal. Kita akan terkenal.”
“Jadi semua ini tentang terkenal?” aku mulai emosi.
“Bukan hanya itu.” Katanya. “Aku hanya ingin mengubah nasibku yang menyedihkan ini.”
“Tapi bukan begini caranya.”
“Aku tak punya pilihan lain.”
“Lalu, bagaimana dengan pembiayaan ekspedisi yang gila ini?” kataku.
“Kebetulan, beberapa bulan yang lalu aku mengikuti perlombaan tentang perencanaan ekspedisi melintasi samudera pasifik, dan aku memenangkannya. Pemerintah dengan senang hati memberikan biaya yang diperlukan.”
“Bagus sekali.” Ujarku sinis. “Apakah pemerintah juga membekalimu uang dalam kaleng sebagai bekal di tengah perjalanan nanti?”
“Kau kenapa?” tanyanya. “Kau tidak senang dengan semua ini?”
“Bukan begitu.” Kataku. “Aku justru ikut senang atas keberhasilanmu.”
“Tentu saja.” sahutnya.
“Aku hanya... Kau yakin dengan perjalanan ini?” tanyaku.
“Tentu saja.” jawabnya percaya diri.
“Tapi ini perjalanan yang sangat berbahaya. Perjalanan sepanjang 5000 km, bung. Tak ada tempat yang bisa kau singgahi untuk meminta pertolongan. Perjalanan hidup dan mati. Ku harap kau sadar dengan semua itu.”
“Ya, aku sudah memikirkannya secara matang dan aku siap dengan segala resikonya.”
Aku diam.
“Aku mengerti kepedulianmu dan aku sangat menghargainya.” Ujarnya. “Tapi ini kesempatan seumur hidup. Mungkin saja dengan melakukan ekspedisi ini, hidup kita akan berubah selamanya.”
“Jadi kau tidak akan mundur?”
“Tidak.” Sahutnya pasti.
“Baik lah.” Kataku. “Tapi aku tak akan ikut.”
“Aku memang tidak mengajakmu.” Katanya tertawa.
“Lalu, untuk apa kau suruh aku datang disini?” tanyaku heran.
“Pemerintah memberikan asuransi bagi setiap peserta yang ikut ekspedisi ini sebanyak Rp. 100.000.000.”.  Ia terdiam. “Aku ingin menuliskannya atas namamu.” Lanjutnya.
Aku terkejut. “Kenapa tidak kau berikan pada keluargamu?” tanyaku.
“Kau kan tahu.” Sahutnya. “Aku tidak memiliki siapa-siapa lagi.”
Ia terdiam sesaat. Aku ingat keluarganya meninggal dalam bencana banjir 10 tahun yang lalu.
“Aku ingin memberikan jaminan itu padamu. Karena hanya kau lah satu-satunya sahabat terbaikku.” Katanya sungguh-sungguh. “Siapa tahu aku tidak berhasil.”
Aku melihat ketulusan di matanya. Untuk sejenak, seorang yang bertamperamen keras dan kaku itu menampakan kelembutan hatinya.
“Jangan menolak.” Katanya dengan sikap yang kembali serius. “Kita semua tahu, kau membutuhkannya.”
Aku memang membutuhkan uang itu untuk melanjutkan kuliah dan membiayai penelitianku. Uang itu cukup untuk menghidupi kami selama 4 tahun.
“Aku akan menerimanya.” Ujarku. “Tapi dengan satu syarat.”
“Apa itu?”
“Kau harus kembali dengan selamat.”
“Syarat yang mudah.”
“Kapan kau berangkat melakukan penelitianmu?” Ia bertanya.
“Tiga hari lagi.” Sahutku. “Kenapa?”
“Aku butuh tanda tanganmu sebagai bukti kau bersedia menerima uang asuransi itu.” Ujarnya. “Besok kita menuju ke kantor Ekspedisi dan Pelayaran.”
“Baiklah kalau begitu.” Kataku,
“Jadi, kita sudah sepakat?” ia mengulurkan tangan.
“Yup.” Aku menjabat tangannya. “Tapi jangan lupa kembali kesini.”
“Tidak.” Ia menggoda. “Aku akan menemukan seorang gadis disana, dan menikahinya.”
“Terserah katamu saja.”
Aku tertawa. Ia juga tertawa. Sepertinya hidup akan segera menjadi lebih baik.
Suatu malam, empat bulan kemudian, aku tengah terlelap dalam tidurku. Handphoneku berdering nyaring.
“Halo...” kataku dengan malas.
“Hey...” Suara itu tertawa, khas sekali.
“Aku berhasil...” Ia berteriak lalu tertawa.
“Apa kau tahu ini jam berapa?” tanyaku.
“Maaf.” Katanya. “Aku lupa kalau disitu masih tengah malam.”
“Kapan pulang?” tanyaku,
“Segera.” Jawabnya.
“Pulanglah dengan selamat.” Kataku.
“Ya, sebaiknya kau rapikan ruang asrama kita yang menyedihkan itu. Karena kita kaya...” 

Jumat, 01 Maret 2013

Yang Terlewatkan


Rasanya aku tak sanggup lagi. Semua yang telah dilakukan terasa sia-sia belaka. Apapun yang direncanakan sekarang ini tak kan membuat perubahan itu datang. Hari-hari berlalu dalam andai-andai. Hanya terlewatkan dalam jam-jam yang sepi tanpa suara. Bagai malam yang hening dalam hutan yang gelap.
Hidup mungkin terasa tak adil setelah semua yang telah kau alami tidak satupun memberikan yang baik bagimu. Tapi, terkadang, itulah yang terjadi. Kau tidak bisa melakukan apapun. Kau marah, tapi kau tak berdaya.
            “Aku tak bisa lagi melakukannya.” Kataku
            “Kau menyerah begitu saja?” ia bertanya.
            “Bagaimana tidak.” Jawabku. “Tak ada gunanya lagi diteruskan. Membuang waktu saja.”
            “Mungkin saja, tapi bagaimana dengan waktu, uang, dan tenaga selama ini?” ujarnya.
            “Aku tahu ini berat sekali untuk mu.”
            “Tentu saja”. katanya.
            “Maafkan aku.” Kataku. “Aku tak bermaksud mengecewakanmu.”
            “Tentu saja aku kecewa”
            “Aku tahu, maafkan aku”
            “Aku masih tak habis pikir.” Katanya. “Bukankah selama ini kau melakukannya dengan baik?”
            “Ya, tapi kenyataannya malah sebaliknya.” Jawabku.
            “Bagaimana mungkin?” Ia masih tidak percaya.
            “Kau tahu, aku mulai tertekan dengan keadaanku.” Kataku. “Aku ingin mengatakannya padamu secara terus terang. Tapi aku takut. Aku takut mengatakannya. Aku takut kau akan kecewa dan marah padaku.”
            “Lalu, kenapa kau diam saja seolah kau hidup hanya sendirian saja?”
            “Aku tak ingin menyusahkanmu.”
            “Tapi kau sudah menyusahkanku sekarang.” 
            “Maaf, aku tidak bermaksud demikian.” Ujarku.
            “Kenapa baru sekarang kau berterus terang?” ia bertanya.
            “Keberanian sudah meninggalkanku.”
            “Menurutmu, kau bisa melakukannya lagi?” ia bertanya.
            “Aku tak tahu.” Jawabku dengan keraguan.
            “Sudah kau bertanya dengan mereka?”
            “Ya.” Jawabku singkat.
            “Lalu, apa yang mereka katakan tentang masalah itu?”
            “Mereka akan membantu, tapi menurutku mereka juga tak tahu apa yang harus dilakukan.”
            Ia menghela nafas.
            “Aku merasa tidak berguna.” Kataku. “Maafkan aku.”
            “Jangan berkata begitu.” Ujarnya. “Aku berharap kau dapat menyelesaikannya dengan baik.”
            “Tapi aku sudah mengecewakanmu dan mereka.” Kataku. “Tidakkah kau melihat wajah-wajah yang dipenuhi oleh kekecewaan itu?”
            “Aku bisa melihatnya.” Jawabnya. “Kau juga bisa melihatnya diwajahku.”
            “Aku merasa hidupku sia-sia.” Kataku.
            “Apa yang membuatmu berpikir demikian?” tanyanya.
            “Ya, kenyataan yang kini sedang ku hadapi.” Jawabku.
            “Lantas apa yang akan kau lakukan?”
            “Aku tak yakin.” Jawabku. “Kalau saja mungkin, aku akan melakukan sesuatu yang lain.”
            “Seperti...?”
            “Seperti menciptakan cerita baru. Cerita yang benar-benar baru dalam hidupku.”   
            “Tapi itu akan memerlukan waktu yang cukup lama.” Katanya.       
            “Aku tahu.” Jawabku.
            “Justru itu masalahnya.” Katanya
         “Aku tahu, mungkin aku akan menghabiskan sebagian besar hidupku disitu.” Ujarku. “ Tapi menurutku itu lebih baik dari pada tidak melakukan apapun.”
            “Itu pemikiran yang terlalu berani.” Katanya. “Dan beresiko.”
            “Aku  tak punya pilihan lain.” Jawabku. “Aku juga ingin seperti orang-orang lain.”
            “Tentu saja.” katanya. “Aku ingin melihatmu bahagia.”
            “Aku cukup bahagia dengan hidupku.” Kataku berbohong.
            “Aku tidak melihat adanya kebahagiaan dimatamu.”
            “Mungkin karena aku terlalu lelah.” Ujarku. “Lelah dengan pekerjaan. Lelah dengan permasalahan yang datang silih berganti. Lelah dengan hidup ini. Lelah dengan segalanya.”
            “Maafkan aku.” Katanya. Aku melihat matanya berkaca-kaca. “Semua ini adalah kesalahanku.”   
            “Tidak.” Jawabku. “Ini bukan kesalahanmu.”
            “Ya, tentu saja ini kesalahanku. Seharusnya, aku bisa menjadi seorang yang lebih baik untuk kalian.”
            “Sudahlah.” Kataku menyentuh tangannya. “Tak ada yang harus disesali.”
            “Aku telah membuatmu menderita.” Katanya.
            “Mungkin dalam beberapa cara aku memang menderita. Tapi selebihnya, itu semua kesalahanku.” Ujarku beberapa saat kemudian. “Dan tidak seharusnya aku mengatakan semua ini padamu.”
            “Kenapa tidak?” katanya. “Aku ini ayahmu.”
            “Tapi itu akan menambah satu hal lagi untuk dipikirkan.“ Jawabku.
            “Itu kewajibanku.” Katanya.
            “Aku sudah cukup menyusahkanmu.”
            Aku meraih tangannya.
            “Maafkan aku, ayah.” Kataku.
            “Maafkan ayah juga.”
Mungkin aku tak kan pernah bisa meraih impianku, tapi aku tidak menyesal.