Ruangan itu tidak terlalu besar. Jika
kau masuk melalui satu-satunya pintu dengan gagang yang sudah mulai goyang, kau
akan mendapati sebuah meja kayu berwarna cokelat berukuran dua meter dengan
lebar tidak sampai satu meter dengan sebuah mesin ketik di atasnya. Dan lagi,
sebuah kursi kayu reyot tersimpan rapat di dekat meja tadi dimana buku-buku
tebal dan kertas-kertas berserakan. Disebelah meja itu, diletakkan sebentuk
sofa berwarna biru langit yang terlihat masih baru. Menghadap ke kiri, lemari
tempat menyimpan buku berdiri tegak di samping jendela yang menghadap ke arah
jalanan yang selalu ramai, sehingga pemandangannya tidak begitu membosankan. Sementara
seluruh dinding beton ruangan itu di tempeli dengan berbagai potongan halaman
majalah, kliping koran, dan foto-foto yang tidak menarik dan jumlahnya begitu
banyak sehingga kau pikir tak kan sanggup memperkirakan jumlah mereka. Meskipun
sempit, udara di ruangan itu cukup segar walau cuaca diluar terasa panas. Lebih
ke dalam lagi, terdapat sebuah ruang yang dipisahkan dari ruang utama oleh
sebuah gorden hijau rumput. Disana terdapat sebuah kasur kecil dan dua buah
bantal tersusun rapi dan seprei hijau menutupinya. Tak ada jendela di situ,
hanya sebuah kipas angin kecil yang terletak di atas meja kecil. Sementara
lampu tidur yang menempel di dinding sudah rusak karena tidak pernah digunakan
lagi sejak beberapa tahun yang lalu. Aneh juga membayangkan seseorang pernah
hidup di sini selama bertahun-tahun.
Aku tak benar-benar mengenal
kakekku. Aku hanya mengetahui dari cerita orang-orang yang mengenalnya secara
langsung. Kata mereka, kakekku seorang yang gagah berani, penerima medali
tertinggi di kemiliteran. Meski pada akhirnya, tak seorangpun yang tahu
keberadaannya. Ia seolah menghilang ditelan bumi. Bahkan kedua orang tuaku tak
tahu kemana ia pergi.
Dua puluh tahun berlalu, hingga
suatu hari, datang kabar dari kota bahwa Letnan Satu Fransiskus Thomas pernah
menyewa sebuah kamar di apartemen yang dimilikinya. Aku bergegas berangkat ke
kota itu, karena kedua orang tuaku, khususnya ayahku, ingin sekali mengetahui
kebenaran tentang ayahnya.
“Jadi anda Mr. Santos yang
menelepon ke rumah beberapa hari yang lalu?” kataku seraya menjabat tangan
gemuk lelaki itu. Dilihat dari caranya berbicara dan memperlakukan tamu, Mr.
Santos menunjukan dirinya sebagai pemilik apartemen yang profesional dan
kecerdasan yang cukup tinggi. Sementara citarasa seni yang ia miliki tampak
dari desain arsitektur ruangan lobby yang penuh dengan gambar-gambar lekukan
dan bulatan simetris yang tampak aneh bagiku dan perpaduan warna yang beragam,
membuat tempat itu tak dapat dilewatkan untuk di lihat.
“Ya, benar sekali.” Sahutnya
dengan ceria. “Anda pasti Albert Yohanes Thomas.”
“Benar sekali. Panggil saja
Albert. Maksud kedatangan saya kemari untuk mengecek keberadaan kakek saya yang
kabarnya, dua puluh tahun yang lalu, pernah tinggal disini.”
“Tentu saja, saya diminta untuk
menyampaikan sebuah pesan langsung kepada anda. Anehnya, pesan itu berasal dari
ayah saya yang telah meninggal sepuluh tahun yang lalu. Ia memberikannya
melalui pengacaranya sebelum meninggal. Sebentar, biar kita periksa sama-sama.
Mari silahkan duduk dulu.” Katanya. Ia melambai pada salah seorang pegawai di
balik meja penerima tamu yang kemudian membawakan sebuah buku besar dan tebal
yang usianya lebih tua dari pada si pegawai itu. Mr. Santos membuka halaman
demi halaman buku itu. Lalu berhenti. “Menurut catatan penghuni apartemen ini,
yang saya peroleh dari mendiang ayahku, seorang penghuni pernah tinggal selama
beberapa tahun di sini, tepatnya di kamar
No. 51. Letaknya di lantai kedua dan terletak di pojok bangunan ini. Disini
tertulis penghuni bernama Fransiskus Thomas, tahun 1985.” Ia melanjutkan lagi,
“Tapi ia kemudian pergi pada tahun 1994 dan pergi entah kemana. Itu saja
catatan mengenai orang ini. Tak ada dokuman lain atau foto yang tersedia. Kau
punya fotonya?”
“Tidak.” Kataku. Aku memandang
langit-langit beberapa saat, mencoba memecah kebuntuan. Tapi aku tak menemukan
apapun. Semuanya masih terlihat kabur dan jauh dari pada jelas. Semakin
dipikirkan, semakin hal ini membuatku bingung.
“Bagaimana kalau kita ke kamar
itu sekarang?”
“Wah, maaf Albert. Saya tak bisa
masuk begitu saja disana. Saat ini, ada seseorang yang menghuni kamar itu,
seorang pensiunan tentara. Saat ini ia tengah berada di luar. Mungkin
sebaiknya, kita tunggu hingga ia kembali, bagaimana?”
“Baiklah.”
“Ayahku sering mengajakku ke
tempat ini, saat aku kecil dulu, supaya kau terbiasa, katanya. Dan
mempertemukanku dengan bermacam jenis orang. Tapi ada satu orang yang menarik
perhatianku waktu itu. Seorang pria, aku sudah lupa wajahnya. Yang ku ingat,
orang itu sering melewati waktunya minum teh dengan ayahku, dan ia selalu
mengelus rambutku dan mengatakan sesuatu tentang kamar No. 51. Tapi aku tak
mengerti. Oh, ya, Albert, ngomong-ngomong, bagaimana kau mengenal kakekmu ini?”
“Tidak terlalu, Mr. Santos.”
Sahutku. “Aku bahkan tak tahu bagaimana perawakannya. Ia sudah pergi ketika aku
lahir. Mungkin saja ia tinggi besar seperti ayahku, yang ku yakini seperti itu,
atau juga lebih pendek dari yang ku pikirkan. Namun, dari kawan-kawan
sejawatnya dulu, dia seorang yang eksentrik dan berbeda dari orang manapun.
Bagai hantu yang penuh misteri, begitu juga dengan kakekku ini. Yang kuketahui
dari ayahku, ia lahir tahun 1920. Itu saja. Apa ada keterangan yang anda
ketahui dari mendiang ayah anda?”
“Sayangnya, tidak sama sekali,
Albert. Aneh juga. Bingung aku memikirkannya.” Kata Mr. Santos mengusap-usap
keningnya. “Apa tidak ada dokumen-dokumen mengenai orang ini atau catatan
pemerintah?”
“Sayangnya tidak. Pihak
kemiliteran menyatakan tidak memiliki apapun selain catatan kelahiran dan tugas
selama menjadi tentara. Tak ada lagi yang lain. Lagi pula, pada masa itu, tak
ada catatan resmi mengenai seorang warga negara sehingga seseorang bisa saja di
lahirkan tanpa catatan hukum. Kecuali informasi dari sanak keluarga, namun,
mereka semua telah meninggal.”
Mr. Santos bangkit dari kursinya,
lalu dengan sigap berjalan ke arah seorang lelaki bertubuh jangkung dengan dada
bidang, usianya kuperkirakan sekitar lima puluhan. Kulitnya kecokelatan
terbakar matahari daerah tropis. Langkah kakinya panjang-panjang, bagai seorang
pegulat yang siap menghajar lawan. Dan matanya yang tajam bagai harimau yang
tengah mengamati mangsanya dari kejauhan, aku tak bisa melupakannya. Ia hendak beranjak
naik ke tangga yang menuju lantai atas, namun segera Mr. Santos menghampirinya.
Mereka berbicara dan Mr. Santos menunjuk ke padaku dan mereka kemudian berjalan
ke arahku.
“Albert, ini Sersan Filipus Martin.”
Kata Mr. Santos memperkenalkan kami. “Panggil saja Martin.” Katanya. Setelah
berkenalan kami melanjutkan obrolan. “Aku mendengar masalahmu dari Mr. Santos.
Apa yang bisa ku bantu?” Mendapat tanggapan langsung seperti itu, aku jadi
sedikit gugup. Aku bergerak sedikit membetulkan dudukku. Setelah
berbincang-bincang mengenai masalah yang sedang ku tangani dan bagaimana
keluargaku ingin sekali mengetahui keberadaan atau nasib terakhir dari lelaki
tua yang belum pernah kutemui ini, lelaki itu kemudian berkata, “Tentu saja,
masih ada sedikit barang-barang berupa buku-buku dan catatan-catatan
peninggalan penghuni terdahulu. Aku sempat hampir membuangnya, namun kupikir
lagi, ada baiknya ku simpan saja. Sesekali aku membacanya. Tulisan yang bagus.
Aku juga menyimpan sebuah kotak kayu yang terkunci rapat. Anehnya, di sana
tertulis namamu. Aku tak berani membukanya karena itu menyalahi aturanku
sendiri. Ku pikir, pada akhirnya seseorang akan datang dan mengambil kembali
barang-barang itu. Jadi, ku letakkan saja di sudut kamar.”
Kami berjalan menuju lantai atas
dimana kamar itu berada. Sepanjang perjalanan menyusuri lorong, Mr. Santos
berbicara tentang perkembangan bisnis apartemennya, bagaimana ia melanjutkan
usaha ayahnya, meski pada awalnya ia ingin sekali melanjutkan sekolah di sebuah
universitas, namun kondisi keluarga yang tidak mendukung, akhirnya ia tidak
pergi kemana-mana. Ia juga bercerita tentang klub sepakbola favoritnya yang
musim lalu mendapat juara. Aku hanya mengangguk sesekali sambil berpikir apa
yang akan ku jumpai. Ada keanehan yang tak dapat dijelaskan dalam masalah ini.
Hanya saja, aku dapat merasakannya dalam darahku. Sementara Sersan Martin, seorang
veteran perang Vietnam, bergerak dengan langkah mantap tanpa suara dan
pandangan lurus kedepan. Tak sengaja ku lihat tato berbentuk jangkar di lengan
kirinya yang sudah mulai pudar. Akhirnya, kami tiba di sebuah pintu bertuliskan
No 51. Sersan Martin mengambil sebentuk kunci dari saku kirinya, dan memutar
anak kunci. Pintu berderak ketika ia membukanya. Ia mempersilahkan kami masuk
dan duduk di sofa berwarna biru yang kecil. Ia masuk ke kamar dan kembali
dengan buntelan kertas dan tumpukan buku yang sudah terlihat kusam.
“Ini dia. Coba kau periksa.”
Katanya sambil meletakan buku-buku itu di atas meja.
Aku bergegas memilah-milah dan
melihat-lihat. Hanya ada deretan angka dan huruf-huruf aneh yang tak ku
mengerti. Tapi buku lain dengan sampul terbuat dari kulit kayu berisi tulisan
yang lebih mirip jurnal atau buku harian. Di sana aku membaca, “24 Agustus 1944, kami terpaksa melewatkan
malam disebuah dataran berpasir yang dikelilingi hutan lebat. Hujan turun tanpa
henti, sementara kami kelaparan dan kedinginan. Sungguh serasa di neraka.
Komandan pasukan kami tewas sementara Melvin, Sersan Kepala, sekarat karena
luka yang dideritanya. Aku tak bisa berpikir lagi. Hujan sialan ini merusak
pemandangan dan kewarasan. Ku pikir, setiap orang dalam kelompok ini hampir
mencapai titik kegilaan.” Aku membalik halaman selanjutnya. “31 Agustus 1944. Sudah hampir dua minggu
lamanya sejak kami terpisah dari pasukan induk. Tak ada makanan tersedia atau
obat-obatan. Bahkan hampir tak ada lagi tenaga yang kami miliki. Sersan Kepala
Melvin terpaksa kami kuburkan di bawah sebuah pohon besar. Seluruh tubuhku
sakit dan lelah yang tak bisa dibayangkan lagi. Kami melewatkan malam di sebuah
bukit hijau, serangan musuh berhenti sejak dua hari yang lalu, meski malam ini
tenang, tapi kami semua ketakutan dengan serangan tiba-tiba sehingga diputuskan
untuk berjaga secara bergantian. Komunikasi dengan pasukan induk belum
tercapai.” Ku lihat Mr. Santos mengernyit ketika membacanya. Ia berkata,
“Ayahku dulu juga seorang tentara, tapi ia bertugas di Eropa.”
“Apa yang kau temukan?” ujar
Sersan Martin. Mr. Santos menggeleng. Tak terasa sore menjelang, kami bertiga
masih sibuk membuka dan memeriksa kertas-kertas itu hingga lantai dipenuhi oleh
kertas yang bertaburan di lantai. Sersan Martin menunjukan sebuah foto hitam
putih yang ia temukan di sebuah halaman buku. Dalam foto itu, terlihat
sekelompok tentara tengah berpose dibawah bendera kesatuan mereka di antara
pepohonan kelapa. Aku membolak balik foto itu berharap menemukan sedikit
petunjuk atau tulisan di sana. Benar saja, tertulis sebuah inisial F. T. yang
pasti berarti nama kakeku itu. Namun aku tak dapat mengenali wajahnya di antara
sekian banyak orang di foto itu.
Di buku lainnya, yang bertuliskan
tahun 1985, itu artinya lima tahun sebelum ia menghilang, aku menemukan sebuah
tulisan. “Malam ini terasa sangat berbeda
dari biasanya. Bintang di langit tak bersinar, seolah menghindari sebuah
pertunjukan hebat yang sebentar lagi akan dimulaii. Aku sudah lelah berlari.
Walau apapun yang terjadi, tak perduli bagaimana akhirnya, aku sudah memutuskan
untuk menyelesaikan apa yang telah ku mulai. Aku tak memikirkan apa-apa lagi,
anakku telah hidup bahagia. Aku akan pergi dengan gagah berani. Semoga Tuhan
mengampuni jiwaku.”
“Tak banyak yang kita dapatkan.”
Kata Sersan Martin kemudian sambil menutup sebuah buku dan meletakkannya di
atas buku lain di meja itu. Aku hanya terdiam menatap langit-langit sambil
berpikir keras, apa gerangan yang terjadi dengan lelaki tua itu. Ia bertindak
seolah-olah sedang di hadang sesuatu yang membahayakannya, tapi apa?
“Bagaimana menurut anda?” tanyaku
ke pada Sersan Martin. Ia menarik nafas, menelan ludah dan berkata, “Ku pikir,
ia sedang bersembunyi dari sesuatu. Entah apa itu, kita belum mengetahuinya.”
“Ku kira juga demikian.” Sahut Mr. Santos. Aku hanya bisa memendam kebingungan
yang semakin memuncak. Aku mencoba menelusuri semuanya dari awal. Sebenarnya
apa yang sedang terjadi. Mengapa ayahku ngotot sekali ingin mengetahui
keberadaan ayahnya sementara sang ayah ini, kakekku, terkesan menghindar dan
tak ingin ditemukan, bahkan ketika sesudah ia kembali dari peperangan. Boleh
dikatakan, hubungan mereka tidak begitu baik. Anehnya lagi, ayahku tak memiliki
satupun foto atau catatan tentang ayahnya.
“Sersan Martin, bagaimana dengan
sebuah kotak kayu yang anda sebutkan tadi? Bagaimana kalau kita melihatnya.” Sersan
Martin beranjak dari kursinya, lalu kembali dengan sebuah kotak kayu. Dengan
sebuah besi pengungkit, ia membuka kotak itu dan kami dapat melihat di dalamnya
sebuah amplop cokelat tergeletak di
sebelah kotak kecil dibungkus kain dan terkunci. Aku mengambil amplop itu dan
membukanya,di dalamnya terselip beberapa lembar kertas dan dua lembar foto.
Dalam foto setengah badan itu, terlihat seorang lelaki mengenakan seragam
tentara lengkap. Rambut pendek dan
wajahnya dicukur bersih. Aku melihat tulisan di belakang foto itu; Sersan
Fransiskus Thomas, 19 April 1943. Wajah di foto itu berbentuk lonjong dengan
hidung besar dan kedua matanya bening besar dan tajam, menunjukan kekuatan jiwa
yang tak segan melakukan apapun. Tulang pipi yang menonjol menambah garis-garis
di wajahnya semakin jelas dan membuat setiap orang menyadari adanya kegarangan
yang tersembunyi di balik wajahnya yang
tenang. Seperti seorang yang telah mengalami latihan fisik terus menerus,
kulitnya kecokelatan, dan otot bahu menonjol seperti banteng. Sungguh, masa
muda yang menyenangkan. Sementara foto
yang satunya menunjukan seorang lelaki mengenakan topi dan pakaian seperti
orang yang sudah lama tak pulang kerumah. Pandangannya sayu layaknya orang yang
kehilangan harapan hidup, sepertinya usia tua cukup membuat ia tersiksa dan
muak dengan pengalaman-pengalaman buruk yang dialami, namun kegagahan di masa
muda masih terlihat dari bentuk fisiknya yang tetap tegap. Jambang memenuhi
wajahnya. Foto itu bertuliskan 11 Mei 1984.
Aku mengambil beberapa lembar
surat, lalu aku membaca:
Dear, Albert.
Sengaja aku menuliskan padamu tentang hal ini. Ku harap kau baik-baik
saja dan ketika kau membaca surat in, aku sudah tak berada di dunia ini. Banyak
hal yang mesti ku sampaikan, namun aku tak punya waktu dan kesempatan untuk
mengatakannya langsung padamu. Mungkin kau terkejut atau merasa aneh dengan
urusan-urusan ini, tenanglah, karena aku akan memberitahukannya padamu hingga
semuanya menjadi jelas bagai di siang hari. Urusan ini adalah mengenai sebuah
harta terpendam yang belum juga di sentuh namun menjadi rebutan setiap orang
yang mengetahui keberadaannya. Banyak orang menginginkannya, tapi dapat ku
pastikan, kebanyakan dari antara mereka sudah meninggal pada waktu ini. Kau
akan melihatnya sebentar lagi. Kau tahu apa yang harus kaulakukan. Namun aku
ingin menceritakan sebuah kisah yang mungkin kalian ketahui berbeda dari
kejadian yang sebenarnya.
Pada waktu itu, ketika perang besar pecah dan menyebar hingga ke dunia
bagian selatan, banyak pemuda berlomba-lomba mendaftar di kemiliteran, baik
karena panggilan negara atau atas dasar kesukarelaan, untuk menunjukan
keberanian dan kegilaan yang dimiliki para pemuda berusia rata-rata dua puluhan.
Aku juga tak ketinggalan. Aku berangkat menggunakan kereta dan tiba di kota
besar dengan bangunan-bangunan tinggi dan gemerlap lampu- lampu yang belum
pernah ku saksikan selama hidupku. Kami semua bahagia, aku dan teman-teman
sekampung yang ikut mendaftar. Nama mereka: Yones, dengan perawakan kurus
tinggi dan wajah panjang.Ia seorang yang ceria dan senang berkelakar. Sementara
satu lagi bernama Sagitarius, namanya cukup aneh, menurutku, tapi nama itu
cocok dengan orangnya yang pendiam, serius dan tak banyak bicara. Ku pikir ia
punya masalah dengan dirinya sendiri. Perawakannya juga tak begitu menarik,
badannnya yang agak membungkuk dengan kepala besar, dan wajahnya sedikit
bundar, matanya redup bagai lampu di tepi pantai yang tertutup kabut. Namun,
sifatnya yang suka membantu dan setia kawan, membuatnya dapat dipercaya.
Kami mendaftar, dan setelah melewati serangkaian tes dan latihan keras,
akhirnya kami diterima dan ditugaskan pada kesatuan yang berbeda. Sagitarius,
karena kehebatannya dalam mengolah angka dan berhitung, ia bertugas di kesatuan
artileri divisi infantri 79, mengepalai beberapa baterai meriam. Sementara
Yones, ditugaskan pada pleton 2, divisi infantri ke 34 yang dua tahun kemudian,
divisi itu akan di hancurkan oleh pasukan Jepang dalam pertempuran yang
menentukan di Pulau Fororo. Dan aku ditugaskan kedalam kesatuan ynag baru saja
dibentuk untuk melengkapi kekuatan militer, yaitu Marinir.
Berada di Marinir bukan sebuah kehidupan yang baik. Latihan dan latihan
keras hingga kau merasa seluruh tulang di tubuhmu akan copot semua. Kelelahan
meraja lela, hingga kau merasa akan mati. Namun, melalui cara itu, penderitaan
dan situasi yang sulit, ketangguhan dan kesetiakawanan dapat ditumbuhkan.
Begitu yang di katakan oleh pelatih kami.
Beberapa bulan sesudahnya, ketika peperangan semakin menghebat, kami
bersiap-siap di kapalkan menuju sebuah negeri di selatan. Kami mendapat latihan
keras sehingga di harapkan dapat memberikan performans yang baik, kami keras
bagai baja, tak takut bahkan hingga kematian sekalipun, demikian kata pelatih
dan komandan kami. Namun, satu hal yang ku sesali, ketika pulang kerumah, aku
tak mengatahui bahwa ibuku telah meninggal beberapa minggu. Ayahku juga
sakit-sakitan sehingga tak bisa melakukan apapun untuk memberitahukan kabar itu
padaku. Jadi, terakhir kali aku melihat ibuku adalah ketika aku hendak
berangkat ke kota, dan itu dua tahun yang lalu.
Bangunan dan pelabuhan itu terlihat bagai titik di kejauhan seiring
kami menjauh. Aku akan merindukan tempat ini, pikirku. Tapi aku juga merasa
senang, karena dengan begini, aku dapatmelihat tempat lain selain kampung
halamanku. Beberapa minggu setelah berlayar di laut yang tenang, kami tiba di
sebuah pelabuhan. Ku pikir itu tempat yang paling besar yang pernah ku datangi.
Di sekeliling, terlihat kapal-kapal besar dengan meriam-meriam sebesar pohon
kelapa, berlabuh dengan tenang, sementara kapal-kapal kecil hilir-mudik dengan
jumlah ratusan menuju pantai.
Kami tinggal di sebuah barak, dengan kondisi seadanya. Hutan yang
rimbun dan hujan lebat turun hampir sepanjang hari. Dan nyamuk menjadi masalah
yang tak bisa di selesaikan. Banyak marinir yang kujumpai berada disana dari
berbagai asal daerah. Syukurlah, cuaca kembali bersahabat.
Beberapa hari kemudian, kami dinaikan ke kapal, bersiap untuk mendarat
di sebuah pulau yang tengah dikuasai musuh. Adapun tujuan kami untuk
menyelidiki keberadaan kekuatan musuh dan melaporkannya pada pasukan induk yang
bersiap menyerang setelah penyelidikan kami usai. Beberapa hari kemudian,
pasukan inti menyerang, sementara kami bertahan di sisi lain pulau itu. pulau
yang begitu luas, tidak seluruhnya dapat diselidiki. Aku tak ingin membuatmu
bosan dengan kisah yang panjang. Singkatnya, kami terpisah dari pasukan induk
dengan sisa personel yang sedikit karena serangan pasukan musuh. Sementara
pimpinan pasukan kami tewas, dan kami terlunta dalam rimba tak di kenal.
Pemimpin kami selanjutnya tidak terlalu disukai, sersan dengan wajah jelek
karena terkena pecahan bom dalam pertempuran sebelumnya, matanya nyalang
bersinar bagai hewan buas. Ia selalu berteriak dan tak segan menodongkan pistol
pada mereka yang membantah perintahnya. Setiap orang dari kami sangat
membencinya. Ia berteman dekat dengan seorang kopral berkebangsaan Amperiga,
memiliki tubuh besar dan lengan yang kuat.
Setelah berminggu-minggu lamanya tersesat dalam hutan rimba, kami tiba
di sebuah desa di kaki gunung, penduduknya yang mengenakan penutup tubuh dari
kulit kayu dan hidup di dangau-dangau yang tergantung beberapa meter di atas
tanah, keheranan melihat kami yang mungkin satu-satunya orang asing yang pernah
mereka jumpai. Kami berhasil menjalin persahabatan sehingga mereka
memperlakukan kami dengan baik. Makanan dan tempat berteduh, kesenangan itu
membuat kami serasa di rumah. Suatu ketika, kepala suku memperlihatkan pada kami
benda keramat yang mereka miliki. Betapa terkejutnya kami, karena itulah batu
permata yang selama ini menjadi incaran berbagai pemburu harta dan harganya
benar-benar diluar perkiraanmu. Permata itu berbentuk segitiga bening berwarna
biru terang. Beratnya hampir sama dengan sebutir telur ayam. Tak dinyana,
timbul pemikiran jahat pada Pablo, sersan yang selama ini memimpin kami, meski
aku tak mendengar ia berkata-kata, aku dapat melihat sinar matanya dan air
mukanya yang berubah. Sejak malam itu, aku merasa gelisah. Sementara teman
karibku, Prajurit Hendrass, mulai menyadari adanya sesuatu yang akan terjadi.
Ia seorang religius, rajin berdoa dan tak pernah berkata-kata kasar, tapi
keberaniannya tak diragukan lagi melebihi siapapun. Ia berbisik padaku, kalau
ia melihat bayangan berkelebat dibawah rimbun pepohonan. Aku menoleh ke arah
yang ia tunjuk, dangau kepala suku. Bayangan itu bergerak lagi, tapi bukan
hanya satu, ada empat, berjongkok mengendap-endap mendekati dangau. Aku
bergegas bangkit lalu mengikuti bayangan itu. Hendrass mengekor sambil membawa
senapan ditangannya. Pablo dan pengikutnya mengikat kepala suku dan bersiap
meledakkan kepala orang tua malang itu dengan sepucuk pistol, sementara tangan
kirinya memegang permata yang amat berharga itu. Tampaknya mereka akan berhasil
dengan niat jahatnya, sekonyong-konyong, Hendrass dan aku menerobos kedalam dan
mengambil posisi bersiap menembak. “Sersan, apa yang anda lakukan?” kataku.
Dengan tatapan dingin, ia menjawab, “Prajurit, kenapa kau disini, bukankah aku
memberi perintah kalian untuk berjaga?””Aku sudah lama mencurigai anda akan
melakukan hal ini, Sersan.” Ia menyeringai dengan senyuman yang dipaksakan.
“Gunakan otakmu, prajurit.” Bentaknya. “Apa artinya hidup kita di tempat ini?
Bisa kau jelaskan?! Mereka meninggalkan kita sekarat di sini. Kau lihat,
bagaimana hidup kita, bertahan seorang diri, ditinggalkan! Aku sudah muak
dengan keadaan yang tak jelas ini. Aku ingin kembali ke rumah dan menikmati
hidup dengan hasil keringatku sendiri. Lebih baik kau bergabung bersama kami.”
“Hendrass.” Kataku, “Jangan dengarkan ucapannya. Kau ingat bagaimana ia
membunuh Petrus sewaktu di hutan dan mengatakan hal itu sebuah kecelakaan? Kau
ingat?!” Hendrass tak bergeming, ia memantapkan bidikannya, sedangkan ketiga pengikut
Pablo dengan sungguh-sungguh membidik balik ke arah kami.
Setelah beberapa saat melalui pertengkaran, sebuah letusan memecah
kesunyian malam. Sang kepala suku terjerembab dengan kepala meledak bertaburan
dan darah berceceran di lantai tanah. Aku terpaku dan mematung, sebagaimana
juga dengan Hendrass, tak percaya dengan pemandangan yang tengah berlangsung di
depan mata. Secepat kilat Hendrass melepaskan beberapa tembakan dan menjatuhkan
ketiga pengikut sersan, yang terjungkal dan mendarat di atas genangan darah
mereka. Sersan terhenyak dengan peristiwa yang berlangsung dengan singkat itu,
lalu menerobos dinding dan menghilang dalam kegelapan hutan. Namun ia
menjatuhkan sesuatu, batu permata biru itu. Tanpa berpikir panjang, demi
menghindari kepungan penduduk yang mulai berdatangan dengan teriakan
menakutkan, kami pun segera pergi menembus hutan belantara. Beberapa minggu
kemudian, kami tiba di sebuah pantai, tak jauh dari situ terdapat pelabuhan.
Kami merasa bersyukur dan sangat lega ketika melihat sebuah kapal yang sangat
kami kenal.
Sepuluh tahun berlalu sejak peristiwa itu, aku pun telah kembali ke
tempat asalku dan hidup dengan tenang sambil berusaha melupakan
kejadian-kejadian di masa lampau. Aku menemukan rumah kedua orang tuaku sunyi
sepi. Ayahku telah meninggal. Tak lama sesudahnya, aku pergi dari situ dan
tinggal di sebuah kota untuk memulai hidup yang damai aku menikahi seorang
gadis cantik dan melahirkan seorang anak laki-laki, ayahmu. Kuberi ia nama,
Yohanes Thomas. Namun, kedamaian yang kuimpikan sepertinya tak kan terwujud
ketika pada suatu sore yang cerah, aku tengah berjalan-jalan di taman, sebagaima
kebiasaanku pada akhir pekan, dari kejauhan, sebuah wajah yang tak kan pernah
bisa ku lupakan, menatapku bagai seekor serigala buas, aku tak perlu memastikan
siapa itu, karena aku langsung mengenalinya. Aku kembali kerumah dengan nafas
tersengal. Seluruh badanku bergetar karena terror menguasai perasaanku yang
mulai lemah. Aku tahu, kematian mendekat, karena beberapa kali aku mengalami
kecelakaan, dan aku tahu, semua itu terjadi karena di sengaja. Demi keselamatan
keluargaku, aku kemudian memutuskan pergi dan meninggalkan anak dan istriku
sambil berpesan kepada mereka aku akan segera kembali. Aku sengaja tak
memberitahukan kemana aku akan pergi.
Aku pergi kesana kemari sambil menghindari intaian mematikan dari
seorang teman di masa yang lalu. Teman yang tak memiliki belas kasihan atau
keinginan untuk berhenti membalas dendam. Aku menghilang, dan pergi ke luar
negeri. Mengganti identitasku beberapa kali dan menyamar menjadi orang lain,
sungguh bukan kehidupan yang mudah. Aku merasa berdosa karena meninggalkan
anakku lelaki yang masih kecil dan bahkan tidak mengenalku sebagai ayahnya. Aku
pergi hingga ke negeri selatan, bersembunyi di sana selama bertahun-tahun.
Setelah ku rasakan aman, aku kembali ke rumah. Dengan sangat hati-hati aku
mengamati rumah tempat isteri dan anakku tinggal. Ingin sekali aku menyentuh
mereka dan memeluknya. Namun, aku tak berani mengambil resiko, karena para
penjahat itu masih saja mengawasi kalau-kalau aku kembali ke sana. Lalu ku
putuskan pergi ke Borneo, sebuah pulau kecil dengan ratusan sungai besar yang
terletak di samudera Hindia. Menumpang sebuah kapal ekspedisi Eropa yang
mengadakan penelitian ke sana. Aku tinggal bersama suku Dayak yang memiliki
cara hidup yang unik dan sangat menarik bagiku. Aku sempat mengadakan
penelitian tentang suku ini, keluar masuk hutan sehingga aku mengenal
hutan-hutan dan rute-rute rahasia mereka, sekedar untuk mengisi waktu luang
yang tak terbatas jumlahnya. Dua belas tahun kemudian, aku kembali lagi
kerumah, namun pemandangan yang kulihat sungguh menghancurkan hatiku. Rumah itu
roboh dengan atapnya menyentuh tanah. Penghuninya pergi. Ku tanya-tanya pada
tetangga, mereka tak mengetahui kemana perginya. Aku mencari-cari hingga
berkeliling seluruh negeri ini, namun tak juga ku jumpai mereka. Semoga Tuhan
mengampuni jiwaku. Aku berdosa, dosa yang sangat besar. Aku tak tahu lagi apa
yang harus ku lakukan. Dengan perasaan terkoyak dan putus asa, aku kembali ke
Borneo, dengan membawa batu permata yang tersimpan rapi di sebuah kotak yang
khusus ku sediakan. Dalam perjalanan, sebuah kabar yang mengatakan sahabatku
Hendrass meninggal dalam kecelakaan pesawat. Namun, aku tahu pasti penyebabnya.
Beberapa puluh tahun berlalu, tak terasa usiaku sudah mencapai 60
tahun. Fransiskus Thomas yang gagah memasuki usia senja dan kekuatan yang telah
memudar, seorang tua renta dengan mata yang menyimpan penyesalan dalam hidupnya
memutuskan untuk kembali ke dunianya yang hilang. Aku tiba di kota ini sehari
sebelum Natal tiba. Membawa batu permata yang langka itu di samping ribuan
surat yang kutulis untuk nenek dan ayahmu, tapi tak kukirimkan. Berbekal
hubungan akrab di masa silam, aku menghubungi Tuan Petrus Santos, yang
merupakan ayah dari Santos sekarang ini. Kebaikannya yang tak bisa di bayangkan
dan pertolongannya yang luar biasa membuatku bisa menemukan kembali keluargaku
yang hilang. Namun, Sherra, nenekmu, telah meninggal sementara ayahmu, Yohanes
Thomas, tinggal di bagian lain kota ini, hidup bahagia bersama keluarga dan
putra lelakinya.
Aku pernah berpikir untuk menemui ayahmu, namun aku tak memiliki cukup
keberanian untuk melakukannya. Aku hanya mengamatimu dari jauh, ketika kau
berjalan di taman atau ketika kau sedang dalam perjalanan pulang dari sekolah. Kau
mirip ayahmu dan kau memiliki keberanian yang kumiliki dulu, karena itu aku
memutuskan untuk memberitahukan segala sesuatunya kepadamu.
Aku merasa waktuku hampir tiba. Penyakit kanker yang menggerogoti
tubuhku semakin membuatku lemah. Kupikir, tiba waktunya bagiku untuk menulis
surat pada ayahmu. Mungkin ia sempat tak menanggapi semua permohonan maafku,
aku memang tak pantas dimaafkan. Namun, aku ingin, pada saatnya, memberikan
sesuatu yang berharga pada keluargaku, pada ayahmu dan kau seorang. Walau aku
sadar, tak ada yang dapat menggantikan cinta, perhatian, dan kebersamaan dan
aku tak dapat memberikannya pada kalian. Aku sungguh sangat menyesal.
Pada akhirnya, aku memberikan batu ini padamu. Berikan ini pada ayahmu,
juallah agar kalian dapat menggunakan uangnya untuk kepentingan kalian dan
keluarga kalian selanjutnya.
Maafkan aku, maafkan kakekmu ini.
Peluk hangat dan cinta.
Filipus Thomas.
“Well, kisah yang rumit ya.” Ujar
Mr. Santos. Sersan Martin tertegun di kursinya. “Harus ku akui, kisah ini begitu
menarik bagiku.” Katanya. Sementara aku hanya terdiam, tak tahu apa yang harus
ku katakan. “Setiap orang punya rahasia dalam kehidupannya.” Aku tak mengerti
bagaimana kisah ini terbentang di hadapanku dan berlalu begitu saja. Seorang
kakek yang bahkan tak pernah ku temui, memberikan sesuatu yang tak ternilai
harganya dan nilai seninya. Batu Permata Hutan.
“Akan kau apakan benda ini?”
tanya Mr. Santos ketika kami telah kembali di lobby. Aku memutuskan untuk
menyerahkannya pada pemerintah, tentu saja atas persetujuan ayahku dan membawa
pulang buku-buku kakekku untuk kenangan dan sebagai bahan penelitianku mengenai
sejarah saat itu. “Boleh kah aku melihat dokumuen-dokumen itu lain waktu?” kata
Sersan Martin. Aku mengangguk. “Kapan saja anda mau.” “Terima kasih.”
Aku bersiap kembali ke kota
asalku menggunakan kereta malam. Ketika mendekati stasiun, aku sadar, ada
sesosok bungkuk dengan kaki menyapu lantai bermantel tebal hingga menutupi
wajahnya mengikutiku sejak dari apartemen hingga ke tempat ini. Aku mengamati
sekitarku, namun orang itu menghilang. Aku memasuki kereta. Beberapa jam
kemudian, matahari telah bersinar ketika aku menjejakan kaki di stasiun kecil
di kotaku. Aku berjalan dengan gontai sambil memikirkan peristiwa-peristiwa
yang telah terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar