Aku pernah mendengar seseorang
mengatakan bahwa inti semangat manusia berasal dari setiap pengalaman baru,
entah melakukan perjalanan ke suatu tempat yang belum pernah didatangi
sebelumnya atau suasana baru meski tetap berada di tempat yang sama. Oleh
karena itu, aku ingin sekali melakukan perjalanan. Seperti seorang backpacker
dengan tas ransel besar, yang menjadi ciri khas mereka, di punggungnya, menemukan tempat-tempat baru
dan kehidupan baru yang biasanya berbeda. Dan yang luar biasa, para pelancong
ini kemudian menuliskan pengalaman mereka ke dalam buku sehingga dapat
dinikmati oleh banyak orang dan menyebarkan semangat yang sama.
Aku menyebutnya Rencana Besar.
Aku bersiap dengan segudang rencana dan berbekal uang seadanya untuk melakukan
petualanganku sendiri. Aku banyak membaca bermacam petualangan yang dilakukan
orang-orang dari internet dan membakar diri dengan api semangat yang
menggelora. Orant-orang itu mengatakan bahwa petualangan yang mereka lakukan
merupakan bagian dari panggilan hidup dalam upaya menyelami arti kehidupan.
Namun, hingga hari ini, aku belum juga memahami pola pikir mereka dan bagaimana
mereka memulai semua itu. Walau dalam internet, mereka memaparkannya dengan
gamblang, ku pikir, aku tak cukup cerdas menyelaminya.
Hingga suatu hari, saat yang
kunanti-nantikan tiba seiring dengan libur panjang akhir semester datang. Aku
bersiap dengan keraguan melanda hatiku. Namun, rencana terkadang tak
bersesuaian dengan kenyataan. Aku mendapati diriku tengah terdiam duduk dalam
kamarku yang sempit, menghadap meja sambil memikirkan apa yang harus ku lakukan
ke depannya. Mungkin aku tak punya cukup keberanian untuk memulainya atau
banyak hal lain yang tak ingin kukatakan padamu. Pada dasarnya, setiap manusia
melakukan perjalanan dalam kehidupannya yang singkat ini. Entah dengan merantau
ke negeri asing atau bepergian melalui pengalaman spiritual yang tak ku
mengerti, sambil tetap menjalani rutinitas yang semakin lama semakin
menjemukan.
Sudah beberapa tahun ini aku
merasakan ada yang salah dengan diriku. Mungkin kau lebih mengerti keadaan yang
ku alami, maksudku, ketika kau tidak bekerja sehingga tak satu rupiah pun
mengalir dalam dompetmu yang bahkan sudah tak berbentuk sejak hari itu. Melewati
hari-hari dengan menulis sesuatu yang tak ada artinya. Namun, semua itu
memberiku semangat untuk melakukan sesuatu. Sebagaimana yang kau ketahui juga,
masalah itu bukanlah satu-satunya masalah yang ada. Setiap hari kau mencoba
mencernanya dengan pikiranmu, tiba-tiba, kau tersesat dalam kebingungan dan
mendapati mereka bagai jutaan bintang yang bertaburan di langit malam.
Kau tahu, ketika sinar matahari
di ufuk timur mulai merekah, aku hanya bisa memandanginya. Dalam hati terbersit
sebuah pemikiran, kalau saja aku bisa menyaksikan pertunjukan terhebat dari
alam semesta ketika memulai hari yang baru di suatu tempat yang berbeda. Aku
tak tahu dimana perbedaannya dan bagaimana rasanya. Mungkin kau telah
mengalaminya jutaan kali dan hal ini bukan lagi sebuah kejutan. Segera sesuatu
yang hebat dan luar biasa menjadi hal biasa dan sederhana. Ku pikir, setiap
orang memiliki keharusan dalam menyelami hal-hal sederhana di dunia ini dengan
tetap mensyukuri apa yang tersedia. Kau tahu, manusia bukanlah spesies yang
mudah menerima apa yang terlihat. Selalu menginginkan yang lebih dari pada itu.
Justru, disitulah letak kehebatan manusia.
Pernah suatu ketika aku tengah
duduk menikmati sinar matahari sore di tepi hamparan padi yang memantulkan
sinar keemasan. Angin sepoi-sepoi membelai wajah dan menerbangkan angan
mengatasi gunung yang di kejauhan bagai tumpukan benda berwarna hijau tak
beraturan, maaf, jika penggambaran yang ku katakan ini tidak memenuhi
angan-anganmu yang tak terbatas. Setidaknya, pengalaman itu memberikan angin
baru bagi jiwaku yang mulai layu. Aku melemparkan sebuah pemikiran keluar dari
hatiku, tentang bagaimana dunia ini berputar dan berjalan sesuai dengan arahan
tangan-tangan yang menulisnya. Tapi, adalah suatu kebodohan jika kau mencoba
memahami seluruh pertunjukan ini.
Tiba-tiba, desir angin membisikan
sesuatu, “Apa yang kau lakukan disini, anak muda?” Aku terhenyak, ku pikir
suara itu milik seseorang yang melintas di jalan kecil di belakangku. Aku
menoleh tapi tak menjumpai seorangpun. Lalu dengan sedikit keberanian yang
masih tersisa aku menjawab, “Aku mencoba memahami keindahan yang ditujukan alam
padaku. Oh,betapa besar, betapa luar biasanya semua ini. Tapi, siapakah
engkau?” Ia berkata lagi, “Aku adalah angin, yang bepergian melintas ruang dan
waktu. Aku baru saja melalui sebuah padang hijau dengan beberapa anak manusia
asyik bermain-main dan mengucapkan syukur karena memberikan mereka perasaan
tenang, tapi mereka tak mengatakan sesuatupun padaku. Ketika ku saksikan
seorang manusia menatapku, aku mendekatimu, karena ku lihat wajah yang murung
dan hati yang bersedih. Aku ingin sekali
berbicara pada manusia, karena mereka menyimpan banyak rahasia. Lagipula, sudah
lama sekali aku tidak berbicara pada manusia.” “Kalau begitu, apa yang bisa ku katakan
padamu?” kataku. “Kau tahu, terkadang kesedihan timbul tanpa sebab yang pasti.
Dan tiba-tiba saja kau merasakan sesuatu yang berbeda bergejolak di dalamnya.”
“Aku tidak mengetahui segalanya, namun, aku dapat membaca hati dan pikiran
setiap manusia. Hanya saja, sedikit dari mereka yang mampu menanggapi apa yang
hendak ku katakan.” “Kalau begitu, apakah kau juga mengetahui perjalanan
hidupku dan impian-impian besar yang tersimpan rapi dalam pikiranku saat ini?”
“Tentu saja, aku bahkan menyaksikan kelahiranmu. Aku selalu bahagia ketika
seorang manusia terlahir di dunia. Oleh karena itu aku membuka jalan bagi
cahaya mentari dengan menyibakkan awan, sahabat karibku, sehingga manusia itu
dapat melihat cahaya yang memberi kehidupan padanya.” “Indah sekali.” Kataku.
“Ya, benar sekali, sebagai mana juga saat kau di lahirkan.” “Seperti yang kau
katakan tadi, dengan mengetahui banyak hal, rahasia setiap orang contohnya,
apakah hal itu memberikah kebahagiaan bagimu?” “Tidak.” Katanya. “Justru aku
merasakan betapa manusia kala ini berbeda dengan manusia yang pernah ku kenal
dulu. Mengerikan sekali.” “Kenapa?” tanyaku. “Kau tak ingin mengetahuinya.”
Jawabnya.
Tak terasa, malam menjelang. Sang
angin pergi entah kemana. Aku kembali ke rumah dengan perasaan senang bercampur
aneh. Aku tak menyangka, manusia dapat berbicara dengan angin. Malam itu,
seperti biasanya, aku duduk kembali di dalam kamarku yang sempit dengan hati
berdebar-debar. Aku tahu, esok akan lebih menarik dari hari ini. Malam semakin
larut, setelah makan malam, aku pergi tidur.
Cahaya pertama matahari pagi
menerobos masuk ke kamarku. Hangat. Aku tak sabar ingin bertemu lagi dengan
teman baruku. Rutinitas pagi seperti biasanya ku lakukan dengan semangat.
Banyak hal yang kukerjakan sehingga nanti aku punya bermacam kisah yang bisa
kuceritakan. Tapi, sebelum tengah hari, langit menjadi gelap dengan awan kelabu
bergulung-gulung di angkasa. Membuat pemandangan menjadi menakutkan, dan
titik-titik air menerjang permukaan bumi dan segala yang ada di atasnya. Aku
hanya bisa memandang melalui jendela yang basah sambil berharap semoga hujan
tak bertahan lama agar aku tak perlu melewatkan hari ini dalam kekecewaan.
Syukurlah, beberapa jam setelahnya, sinar matahari kembali muncul berkilauan.
Sore itu, pada jam yang sama
seperti kemarin, aku datang lagi ke persawahan. Kali ini sebuah buku novel di
tanganku. Aku tak tahu hendak ku apakan buku itu, hanya saja, perasaanku
mengatakan harus membawanya. Beberapa menit kemudian, angin sepoi berhembus.
Menelisik dedaunan padi yang menguning, dan menghampiri wajahku. Aku menunggu.
“Apa kabarmu hari ini, kawan?”
Aku tahu suara itu. “Aku merasa berbeda.” Kataku. “Senang sekali mendengarnya.”
“Kalau kau punya sedikit waktu, mau kah kau menemaniku sekedar berbincang
sebentar?” “Tentu saja.” Aku menceritakan padanya kegiatanku hari ini dan apa
saja yang telah kulalui. Ku katakan juga padanya tentang hujan lebat siang
tadi. “Oh,” katanya, “Ia tak kan menyakitimu. Sang awan sedang melaksanakan
tugasnya.” “Jadi, setiap kalian memiliki tugas masing-masing? Apakah tidak
membosankan melakukan hal yang itu-itu saja, seperti menurunkan butiran-butiran
air atau menghembusi berbagai belahan dunia dengan angin mu?”
“Tentu tidak. Itu sudah menjadi
tugas kami. Dengan senang hati kami melakukannya karena kami mencintai
manusia.” “Tentu saja.” Kataku. “Kalian tak memiliki masalah seperti yang kami
hadapi.” “Perlu banyak belajar agar kau mengerti.” Sahutnya. “Kami memiliki
masalah, namun apakah dengan masalah itu kau akan berhenti melakukan apa yang
harus kau lakukan, tidak bukan?” “Ya, kau benar sekali. Kau katakan tadi kalian
mencintai manusia, lalu bagaimana dengan bencana-bencana yang terjadi
waktu-waktu ini, mereka mengatakan alam sedang menunjukan kemarahannya.
Bagaimana kami tahu kalau kalian memiliki cinta jika tanpa segan-segan membunuh
manusia?”
Angin berhembus pelan.
“Kebanyakan manusia menyalahkan
kami atas apa yang menimpa mereka.” Katanya. Aku menanggapi, “Sudah
sepantasnya.” “Aku ingin menceritakan sebuah kisah.” Katanya. “Pada suatu ketika,
seorang manusia menemukan sebuah mesin. Mereka semua berbahagia karena dengan
mesin ini pekerjaan mereka menjadi lebih mudah. Selain itu, apa saja dapat
mereka lakukan. Seiring berjalannya waktu, berbagai jenis mesin dan benda-benda
lainnya muncul di muka bumi, sementara keinginan manusia semakin
bertambah-tambah melebihi yang dapat dibayangkan sebelumnya. Keserakahan
meracuni pikiran mereka. Mereka saling membunuh, saling menghancurkan dan
saling menguasai. Kemudian dengan alasan meningkatkan taraf hidup, mereka mulai
merambah alam; hutan-hutan dan tanah, menebangi pepohonan dan memusnahkan
segala makhluk hidup di dalamnya. Bukit dan gunung-gunung yang gundul bagai
orang tak berambut. Kau lihat saja, sampah-sampah bertebaran dimana-mana
sehingga sungai yang bening menjadi sumber kematian. Kemudian awan melakukan
tugasnya, memberi titik air bagi manusia. Sebagaimana aku, sang awan juga hanya
melakukan apa yang harus ia lakukan, ketika pepohonan yang menjadi bagian
penting dalam tugasnya tak ada lagi, kau tahu bagaimana akibatnya jika... Bukan
kah hal itu ada dalam buku pelajaranmu, ketika penyerapan tak dimungkinkan
lagi, maka segala air yang tergenang akan melanda apa saja yang dilaluinya?
Mereka mengutuki kami, manusia-manusia itu.”
“Apakah kau marah dengan makian
yang mereka ucapkan?” “Aku tak tahu, kami tak memiliki emosi seperti itu. Hanya
saja, terkadang manusia itu lebih bodoh dari yang dipikirkan.” “Kenapa begitu?”
“Karena mereka mengetahui segala sesuatu, tapi keserakahan membutakan mata
mereka, sehingga... kau tahu.” Ia tak melanjutkan ucapannya. “Tapi tak semua
manusia seperti itu.” Kataku berusaha membela diri. “Tentu saja.” Ujarnya.
“Bisakah aku berkata-kata dengan
sang awan?” “Kapan saja kau mau. Ku rasa ia tengah sibuk saat ini. Kau lihat di
sebelah barat, awan hitam dengan dinding kelabu hingga ke permukaan bumi.”
“Bisakah ia mendengar apa yang kita bicarakan sekarang ini?” “Tidak, teman. Ia
terlalu jauh untuk mendengar.”
Aku meletakkan buku yang ku bawa
di sampingku. “Kau tahu buku ini?” kataku.”Aku membaca di dalamnya tentang
seorang pemuda yang berbicara pada angin di padang gurun.” “Ya, aku mengenal
pemuda itu.” “Benarkah?” kataku tak percaya. “Tentu, hanya saja kejadian itu
sudah sangat lama.” Aku terdiam, hati ku mengatakan sesuatu tentang pujian.
“Kau baik sekali.” Katanya seolah membaca pikiranku. “Oh, aku melupakan
sesuatu, kau dapat membaca pikiran manusia.”
“Apakah kita dapat berteman
selamanya?” kataku. “Selama yang kau inginkan. Selama kau memberi waktu untuk
mendengarkan suara hatimu.” Kenapa begitu?” “Karena hatimu adalah sumber
kehidupan. Ia merupakan roh TUHAN yang tinggal dalam manusia.” “Tapi bagaimana
jika hatiku mengatakan sesuatu yang jahat?” “Itu pikiranmu yang bertindak
seolah ia adalah suara hati.” “Aku tak mengerti.” “Kau akan mengerti pada
waktunya nanti.”
“Apakah kau melihat seorang
manusia ketika ia mati?” “Selalu.” “Bagaimana?” “Kami akan menangis dan sang
awan akan menurunkan hujan karena kesedihannya. Namun kami juga berbahagia,
karena orang itu telah menyelesaikan tugasnya dimuka bumi dan ia kembali kepada
sang Penciptanya.” “Sudah berapa lama kau di sini?” “Sejak dunia diciptakan.”
Sejak hari itu, aku selalu
melewatkan hari berbicara padanya. Semua orang memandangku dengan tatapan aneh
saat aku menyusuri jalanan sempit menuju rumahku. Mereka berbisik-bisik. Ku
dengar sekilas, mereka mengatakan aku gila atau orang yang menyedihkan, dan
yang lain mengatakan aku terlalu banyak berpikir sehingga kehilangan kesadaran.
Aku tak perduli apa yang mereka
pikirkan tentangku. Mereka tak memiliki yang ku miliki. Angin pernah
mengatakan, menjalani hidup butuh keberanian. Apapun yang kau lakukan, selalu
ada pengalaman baru. Mungkin dengan begitu, aku harus melupakan perjalanan yang
pernah ku rencanakan dan membiarkan Rencana Besar itu terbang bersama angin.
Karena kini, aku dapat pergi kemana saja
melalui pikiranku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar