Jumat, 01 Maret 2013

Yang Terlewatkan


Rasanya aku tak sanggup lagi. Semua yang telah dilakukan terasa sia-sia belaka. Apapun yang direncanakan sekarang ini tak kan membuat perubahan itu datang. Hari-hari berlalu dalam andai-andai. Hanya terlewatkan dalam jam-jam yang sepi tanpa suara. Bagai malam yang hening dalam hutan yang gelap.
Hidup mungkin terasa tak adil setelah semua yang telah kau alami tidak satupun memberikan yang baik bagimu. Tapi, terkadang, itulah yang terjadi. Kau tidak bisa melakukan apapun. Kau marah, tapi kau tak berdaya.
            “Aku tak bisa lagi melakukannya.” Kataku
            “Kau menyerah begitu saja?” ia bertanya.
            “Bagaimana tidak.” Jawabku. “Tak ada gunanya lagi diteruskan. Membuang waktu saja.”
            “Mungkin saja, tapi bagaimana dengan waktu, uang, dan tenaga selama ini?” ujarnya.
            “Aku tahu ini berat sekali untuk mu.”
            “Tentu saja”. katanya.
            “Maafkan aku.” Kataku. “Aku tak bermaksud mengecewakanmu.”
            “Tentu saja aku kecewa”
            “Aku tahu, maafkan aku”
            “Aku masih tak habis pikir.” Katanya. “Bukankah selama ini kau melakukannya dengan baik?”
            “Ya, tapi kenyataannya malah sebaliknya.” Jawabku.
            “Bagaimana mungkin?” Ia masih tidak percaya.
            “Kau tahu, aku mulai tertekan dengan keadaanku.” Kataku. “Aku ingin mengatakannya padamu secara terus terang. Tapi aku takut. Aku takut mengatakannya. Aku takut kau akan kecewa dan marah padaku.”
            “Lalu, kenapa kau diam saja seolah kau hidup hanya sendirian saja?”
            “Aku tak ingin menyusahkanmu.”
            “Tapi kau sudah menyusahkanku sekarang.” 
            “Maaf, aku tidak bermaksud demikian.” Ujarku.
            “Kenapa baru sekarang kau berterus terang?” ia bertanya.
            “Keberanian sudah meninggalkanku.”
            “Menurutmu, kau bisa melakukannya lagi?” ia bertanya.
            “Aku tak tahu.” Jawabku dengan keraguan.
            “Sudah kau bertanya dengan mereka?”
            “Ya.” Jawabku singkat.
            “Lalu, apa yang mereka katakan tentang masalah itu?”
            “Mereka akan membantu, tapi menurutku mereka juga tak tahu apa yang harus dilakukan.”
            Ia menghela nafas.
            “Aku merasa tidak berguna.” Kataku. “Maafkan aku.”
            “Jangan berkata begitu.” Ujarnya. “Aku berharap kau dapat menyelesaikannya dengan baik.”
            “Tapi aku sudah mengecewakanmu dan mereka.” Kataku. “Tidakkah kau melihat wajah-wajah yang dipenuhi oleh kekecewaan itu?”
            “Aku bisa melihatnya.” Jawabnya. “Kau juga bisa melihatnya diwajahku.”
            “Aku merasa hidupku sia-sia.” Kataku.
            “Apa yang membuatmu berpikir demikian?” tanyanya.
            “Ya, kenyataan yang kini sedang ku hadapi.” Jawabku.
            “Lantas apa yang akan kau lakukan?”
            “Aku tak yakin.” Jawabku. “Kalau saja mungkin, aku akan melakukan sesuatu yang lain.”
            “Seperti...?”
            “Seperti menciptakan cerita baru. Cerita yang benar-benar baru dalam hidupku.”   
            “Tapi itu akan memerlukan waktu yang cukup lama.” Katanya.       
            “Aku tahu.” Jawabku.
            “Justru itu masalahnya.” Katanya
         “Aku tahu, mungkin aku akan menghabiskan sebagian besar hidupku disitu.” Ujarku. “ Tapi menurutku itu lebih baik dari pada tidak melakukan apapun.”
            “Itu pemikiran yang terlalu berani.” Katanya. “Dan beresiko.”
            “Aku  tak punya pilihan lain.” Jawabku. “Aku juga ingin seperti orang-orang lain.”
            “Tentu saja.” katanya. “Aku ingin melihatmu bahagia.”
            “Aku cukup bahagia dengan hidupku.” Kataku berbohong.
            “Aku tidak melihat adanya kebahagiaan dimatamu.”
            “Mungkin karena aku terlalu lelah.” Ujarku. “Lelah dengan pekerjaan. Lelah dengan permasalahan yang datang silih berganti. Lelah dengan hidup ini. Lelah dengan segalanya.”
            “Maafkan aku.” Katanya. Aku melihat matanya berkaca-kaca. “Semua ini adalah kesalahanku.”   
            “Tidak.” Jawabku. “Ini bukan kesalahanmu.”
            “Ya, tentu saja ini kesalahanku. Seharusnya, aku bisa menjadi seorang yang lebih baik untuk kalian.”
            “Sudahlah.” Kataku menyentuh tangannya. “Tak ada yang harus disesali.”
            “Aku telah membuatmu menderita.” Katanya.
            “Mungkin dalam beberapa cara aku memang menderita. Tapi selebihnya, itu semua kesalahanku.” Ujarku beberapa saat kemudian. “Dan tidak seharusnya aku mengatakan semua ini padamu.”
            “Kenapa tidak?” katanya. “Aku ini ayahmu.”
            “Tapi itu akan menambah satu hal lagi untuk dipikirkan.“ Jawabku.
            “Itu kewajibanku.” Katanya.
            “Aku sudah cukup menyusahkanmu.”
            Aku meraih tangannya.
            “Maafkan aku, ayah.” Kataku.
            “Maafkan ayah juga.”
Mungkin aku tak kan pernah bisa meraih impianku, tapi aku tidak menyesal. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar