Rasanya aku
tak sanggup lagi. Semua yang telah dilakukan terasa sia-sia belaka. Apapun yang
direncanakan sekarang ini tak kan membuat perubahan itu datang. Hari-hari
berlalu dalam andai-andai. Hanya terlewatkan dalam jam-jam yang sepi tanpa suara.
Bagai malam yang hening dalam hutan yang gelap.
Hidup mungkin
terasa tak adil setelah semua yang telah kau alami tidak satupun memberikan
yang baik bagimu. Tapi, terkadang, itulah yang terjadi. Kau tidak bisa
melakukan apapun. Kau marah, tapi kau tak berdaya.
“Aku
tak bisa lagi melakukannya.” Kataku
“Kau
menyerah begitu saja?” ia bertanya.
“Bagaimana
tidak.” Jawabku. “Tak ada gunanya lagi diteruskan. Membuang waktu saja.”
“Mungkin
saja, tapi bagaimana dengan waktu, uang, dan tenaga selama ini?” ujarnya.
“Aku
tahu ini berat sekali untuk mu.”
“Tentu
saja”. katanya.
“Maafkan
aku.” Kataku. “Aku tak bermaksud mengecewakanmu.”
“Tentu
saja aku kecewa”
“Aku
tahu, maafkan aku”
“Aku
masih tak habis pikir.” Katanya. “Bukankah selama ini kau melakukannya dengan
baik?”
“Ya,
tapi kenyataannya malah sebaliknya.” Jawabku.
“Bagaimana
mungkin?” Ia masih tidak percaya.
“Kau
tahu, aku mulai tertekan dengan keadaanku.” Kataku. “Aku ingin mengatakannya
padamu secara terus terang. Tapi aku takut. Aku takut mengatakannya. Aku takut
kau akan kecewa dan marah padaku.”
“Lalu,
kenapa kau diam saja seolah kau hidup hanya sendirian saja?”
“Aku
tak ingin menyusahkanmu.”
“Tapi
kau sudah menyusahkanku sekarang.”
“Maaf,
aku tidak bermaksud demikian.” Ujarku.
“Kenapa
baru sekarang kau berterus terang?” ia bertanya.
“Keberanian
sudah meninggalkanku.”
“Menurutmu,
kau bisa melakukannya lagi?” ia bertanya.
“Aku
tak tahu.” Jawabku dengan keraguan.
“Sudah
kau bertanya dengan mereka?”
“Ya.”
Jawabku singkat.
“Lalu,
apa yang mereka katakan tentang masalah itu?”
“Mereka
akan membantu, tapi menurutku mereka juga tak tahu apa yang harus dilakukan.”
Ia
menghela nafas.
“Aku
merasa tidak berguna.” Kataku. “Maafkan aku.”
“Jangan
berkata begitu.” Ujarnya. “Aku berharap kau dapat menyelesaikannya dengan
baik.”
“Tapi
aku sudah mengecewakanmu dan mereka.” Kataku. “Tidakkah kau melihat wajah-wajah
yang dipenuhi oleh kekecewaan itu?”
“Aku
bisa melihatnya.” Jawabnya. “Kau juga bisa melihatnya diwajahku.”
“Aku
merasa hidupku sia-sia.” Kataku.
“Apa
yang membuatmu berpikir demikian?” tanyanya.
“Ya,
kenyataan yang kini sedang ku hadapi.” Jawabku.
“Lantas
apa yang akan kau lakukan?”
“Aku
tak yakin.” Jawabku. “Kalau saja mungkin, aku akan melakukan sesuatu yang
lain.”
“Seperti...?”
“Seperti
menciptakan cerita baru. Cerita yang benar-benar baru dalam hidupku.”
“Tapi
itu akan memerlukan waktu yang cukup lama.” Katanya.
“Aku
tahu.” Jawabku.
“Justru
itu masalahnya.” Katanya
“Aku
tahu, mungkin aku akan menghabiskan sebagian besar hidupku disitu.” Ujarku. “
Tapi menurutku itu lebih baik dari pada tidak melakukan apapun.”
“Itu
pemikiran yang terlalu berani.” Katanya. “Dan beresiko.”
“Aku tak punya pilihan lain.” Jawabku. “Aku juga
ingin seperti orang-orang lain.”
“Tentu
saja.” katanya. “Aku ingin melihatmu bahagia.”
“Aku cukup bahagia dengan hidupku.” Kataku berbohong.
“Aku cukup bahagia dengan hidupku.” Kataku berbohong.
“Aku
tidak melihat adanya kebahagiaan dimatamu.”
“Mungkin
karena aku terlalu lelah.” Ujarku. “Lelah dengan pekerjaan. Lelah dengan
permasalahan yang datang silih berganti. Lelah dengan hidup ini. Lelah dengan
segalanya.”
“Maafkan
aku.” Katanya. Aku melihat matanya berkaca-kaca. “Semua ini adalah
kesalahanku.”
“Tidak.”
Jawabku. “Ini bukan kesalahanmu.”
“Ya,
tentu saja ini kesalahanku. Seharusnya, aku bisa menjadi seorang yang lebih
baik untuk kalian.”
“Sudahlah.”
Kataku menyentuh tangannya. “Tak ada yang harus disesali.”
“Aku
telah membuatmu menderita.” Katanya.
“Mungkin
dalam beberapa cara aku memang menderita. Tapi selebihnya, itu semua
kesalahanku.” Ujarku beberapa saat kemudian. “Dan tidak seharusnya aku
mengatakan semua ini padamu.”
“Kenapa
tidak?” katanya. “Aku ini ayahmu.”
“Tapi
itu akan menambah satu hal lagi untuk dipikirkan.“ Jawabku.
“Itu
kewajibanku.” Katanya.
“Aku
sudah cukup menyusahkanmu.”
Aku
meraih tangannya.
“Maafkan
aku, ayah.” Kataku.
“Maafkan
ayah juga.”
Mungkin aku tak kan pernah bisa
meraih impianku, tapi aku tidak menyesal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar