“Semua ini sampah.”
Teriaknya.
“Kenapa?” tanyaku.
“Semua teori ini.” Ia mengetukan jarinya di atas buku itu.
“Memangnya kenapa?” Aku masih penasaran.
“Baca saja.” Ia melemparkan buku itu di hadapanku.
Aku membaca sekilas. Tulisan itu berisi teori cara menulis
yang mudah. Satu kalimat yang ku baca berbunyi: Jangan bayangkan apa yang akan
anda tulis. Tetapi mulailah menulis dan menulis.
“Mungkin ia hanya menganjurkan supaya jangan berhenti
berusaha menulis.” Kataku.
“Ya, aku tahu.” Ujarnya sambil mengambil air minum dari
dispenser. “Tapi tidak lah semudah yang dipikirkan.”
“Aku tak ingin menyentuh barang ini untuk sementara waktu.”
Ia mengambil buku itu dari tanganku, dengan gerakan berputar
ia melangkah ke arah pintu.
“Kau mau kemana?” tanyaku.
“Cari angin.” Jawabnya. Ia membuka pintu dan berlalu.
Aku melanjutkan membaca buku yang ku pinjam dari
perpustakaan kampus siang tadi. Seperti biasanya di bulan April yang kering,
sinar matahari yang membakar seisi kamar itu mulai membuatku gerah. Aku menutup
buku itu, lalu mengambil handuk dan menuju ke kamar mandi.
“Halo.” Jawabku di telepon.
“Kau dimana, Tim?” Fero bertanya dari seberang.
“Dikamar.” Jawabku. “Kenapa?”
“Datanglah kemari.” Katanya. “Ada sesuatu yang harus
dibicarakan.”
“Memangnya ada apa?” tanyaku.
“Datang sajalah dulu. Sekarang.”
“Aku lagi mandi.” Jawabku. “Tunggu saja, aku segera kesana.”
“Oke. Ditempat biasa ya.”
“Oke.”
Klik. telepon ditutup.
Aku tidak bisa menebak kira-kira apa yang akan ia bicarakan.
“Ada apa?” tanyaku sesaat tiba di tempat itu.
Tempat itu, kantin tempat kami biasa menghabiskan sore hari
dan sabtu malam yang tidak menyenangkan. Hari itu, pengunjung kantin tidak
terlalu ramai seperti biasanya.
“Duduklah.” Katanya sambil tersenyum lebar. “Minum apa?”
“Kopi aja deh.” Balasku
“Jadi begini.” Ia memulai pembicaraan. “Libur panjang ini,
aku akan melakukan perjalanan.”
“Kemana?” aku menyeruput kopi pahit itu.
“Kepulauan di Pasifik...!” Ia berteriak kegirangan
“Wah, bagus sekali.” Kataku.
“Ya, luar biasa.” Ujarnya.
“Tapi.” Kataku “Bukankah sulit sekali menemukan pesawat yang
terbang kesana?”
Ia tersenyum. Matanya berbinar.
“Tidak dengan pesawat. ” Katanya dengan ekspresi wajah
misterius.
“Lalu?” Aku penasaran.
“Begini, aku sudah berbicara dengan teman-temanku yang ahli
dalam pelayaran ...”
“Jadi, menggunakan kapal?” tanyaku memotong pembicaraannya.
“Sabar dulu.” Ia melambaikan tangannya. “Aku sudah berbicara
dengan teman-temanku ahli radio juga dan ahli teknik.”
Ia berhenti sejenak.
“Aku akan berlayar menuju Kepulauan di Pasifik menggunakan
rakit.” Ujarnya dengan tenang.
“Kau gila?” kataku.
Ia mengangguk
“Benar-benar gila.” Kataku lagi. “Apa kau tidak berpikir
yang akan kau lakukan ini sangat berbahaya?”
“Aku mengerti.” Jawabnya. “Tapi kau lihat, jika aku berhasil
melakukannya. Aku akan terkenal. Kita akan terkenal.”
“Jadi semua ini tentang terkenal?” aku mulai emosi.
“Bukan hanya itu.” Katanya. “Aku hanya ingin mengubah
nasibku yang menyedihkan ini.”
“Tapi bukan begini caranya.”
“Aku tak punya pilihan lain.”
“Lalu, bagaimana dengan pembiayaan ekspedisi yang gila ini?”
kataku.
“Kebetulan, beberapa bulan yang lalu aku mengikuti
perlombaan tentang perencanaan ekspedisi melintasi samudera pasifik, dan aku
memenangkannya. Pemerintah dengan senang hati memberikan biaya yang
diperlukan.”
“Bagus sekali.” Ujarku sinis. “Apakah pemerintah juga
membekalimu uang dalam kaleng sebagai bekal di tengah perjalanan nanti?”
“Kau kenapa?” tanyanya. “Kau tidak senang dengan semua ini?”
“Bukan begitu.” Kataku. “Aku justru ikut senang atas
keberhasilanmu.”
“Tentu saja.” sahutnya.
“Aku hanya... Kau yakin dengan perjalanan ini?” tanyaku.
“Tentu saja.” jawabnya percaya diri.
“Tapi ini perjalanan yang sangat berbahaya. Perjalanan
sepanjang 5000 km, bung. Tak ada tempat yang bisa kau singgahi untuk meminta
pertolongan. Perjalanan hidup dan mati. Ku harap kau sadar dengan semua itu.”
“Ya, aku sudah memikirkannya secara matang dan aku siap
dengan segala resikonya.”
Aku diam.
“Aku mengerti kepedulianmu dan aku sangat menghargainya.”
Ujarnya. “Tapi ini kesempatan seumur hidup. Mungkin saja dengan melakukan
ekspedisi ini, hidup kita akan berubah selamanya.”
“Jadi kau tidak akan mundur?”
“Tidak.” Sahutnya pasti.
“Baik lah.” Kataku. “Tapi aku tak akan ikut.”
“Aku memang tidak mengajakmu.” Katanya tertawa.
“Lalu, untuk apa kau suruh aku datang disini?” tanyaku
heran.
“Pemerintah memberikan asuransi bagi setiap peserta yang
ikut ekspedisi ini sebanyak Rp. 100.000.000.”.
Ia terdiam. “Aku ingin menuliskannya atas namamu.” Lanjutnya.
Aku terkejut. “Kenapa tidak kau berikan pada keluargamu?”
tanyaku.
“Kau kan tahu.” Sahutnya. “Aku tidak memiliki siapa-siapa
lagi.”
Ia terdiam sesaat. Aku ingat keluarganya meninggal dalam
bencana banjir 10 tahun yang lalu.
“Aku ingin memberikan jaminan itu padamu. Karena hanya kau
lah satu-satunya sahabat terbaikku.” Katanya sungguh-sungguh. “Siapa tahu aku
tidak berhasil.”
Aku melihat ketulusan di matanya. Untuk sejenak, seorang
yang bertamperamen keras dan kaku itu menampakan kelembutan hatinya.
“Jangan menolak.” Katanya dengan sikap yang kembali serius.
“Kita semua tahu, kau membutuhkannya.”
Aku memang membutuhkan uang itu untuk melanjutkan kuliah dan
membiayai penelitianku. Uang itu cukup untuk menghidupi kami selama 4 tahun.
“Aku akan menerimanya.” Ujarku. “Tapi dengan satu syarat.”
“Apa itu?”
“Kau harus kembali dengan selamat.”
“Syarat yang mudah.”
“Kapan kau berangkat melakukan penelitianmu?” Ia bertanya.
“Tiga hari lagi.” Sahutku. “Kenapa?”
“Aku butuh tanda tanganmu sebagai bukti kau bersedia
menerima uang asuransi itu.” Ujarnya. “Besok kita menuju ke kantor Ekspedisi
dan Pelayaran.”
“Baiklah kalau begitu.” Kataku,
“Jadi, kita sudah sepakat?” ia mengulurkan tangan.
“Yup.” Aku menjabat tangannya. “Tapi jangan lupa kembali
kesini.”
“Tidak.” Ia menggoda. “Aku akan menemukan seorang gadis
disana, dan menikahinya.”
“Terserah katamu saja.”
Aku tertawa. Ia juga tertawa. Sepertinya hidup akan segera
menjadi lebih baik.
Suatu malam, empat bulan kemudian, aku tengah terlelap dalam
tidurku. Handphoneku berdering nyaring.
“Halo...” kataku dengan malas.
“Hey...” Suara itu tertawa, khas sekali.
“Aku berhasil...” Ia berteriak lalu tertawa.
“Apa kau tahu ini jam berapa?” tanyaku.
“Maaf.” Katanya. “Aku lupa kalau disitu masih tengah malam.”
“Kapan pulang?” tanyaku,
“Segera.” Jawabnya.
“Pulanglah dengan selamat.” Kataku.
“Ya, sebaiknya kau rapikan ruang asrama kita yang
menyedihkan itu. Karena kita kaya...”
Wow..inspirasi yang luar biasa. Apakah cerita ini hasil karyamu ganteng?
BalasHapusWell, so far iya. Galau berkepanjangan, ginilah jadinya..hehehee....
Hapusikut komen di alamat ini ganteng
BalasHapushttp://pakayangan.blogspot.com/2013/03/the-historical-of-sabahkesultanan-sulu.html?showComment=1363098644064#c4952965780772986543