Selasa, 06 Agustus 2013
KISAH ANEH
Sabtu, 03 Agustus 2013
PERCAKAPAN ANGIN
Aku pernah mendengar seseorang mengatakan bahwa inti semangat manusia berasal dari setiap pengalaman baru, entah melakukan perjalanan ke suatu tempat yang belum pernah didatangi sebelumnya atau suasana baru meski tetap berada di tempat yang sama. Oleh karena itu, aku ingin sekali melakukan perjalanan. Seperti seorang backpacker dengan tas ransel besar, yang menjadi ciri khas mereka, di punggungnya, menemukan tempat-tempat baru dan kehidupan baru yang biasanya berbeda. Dan yang luar biasa, para pelancong ini kemudian menuliskan pengalaman mereka ke dalam buku sehingga dapat dinikmati oleh banyak orang dan menyebarkan semangat yang sama.
Aku menyebutnya Rencana Besar. Aku bersiap dengan segudang rencana dan berbekal uang seadanya untuk melakukan petualanganku sendiri. Aku banyak membaca bermacam petualangan yang dilakukan orang-orang dari internet dan membakar diri dengan api semangat yang menggelora. Orant-orang itu mengatakan bahwa petualangan yang mereka lakukan merupakan bagian dari panggilan hidup dalam upaya menyelami arti kehidupan. Namun, hingga hari ini, aku belum juga memahami pola pikir mereka dan bagaimana mereka memulai semua itu. Walau dalam internet, mereka memaparkannya dengan gamblang, ku pikir, aku tak cukup cerdas menyelaminya. Hingga suatu hari, saat yang kunanti-nantikan tiba seiring dengan libur panjang akhir semester datang. Aku bersiap dengan keraguan melanda hatiku. Namun, rencana terkadang tak bersesuaian dengan kenyataan. Aku mendapati diriku tengah terdiam duduk dalam kamarku yang sempit, menghadap meja sambil memikirkan apa yang harus ku lakukan ke depannya. Mungkin aku tak punya cukup keberanian untuk memulainya atau banyak hal lain yang tak ingin kukatakan padamu. Pada dasarnya, setiap manusia melakukan perjalanan dalam kehidupannya yang singkat ini. Entah dengan merantau ke negeri asing atau bepergian melalui pengalaman spiritual yang tak ku mengerti, sambil tetap menjalani rutinitas yang semakin lama semakin menjemukan.
Sudah beberapa tahun ini aku merasakan ada yang salah dengan diriku. Mungkin kau lebih mengerti keadaan yang ku alami, maksudku, ketika kau tidak bekerja sehingga tak satu rupiah pun mengalir dalam dompetmu yang bahkan sudah tak berbentuk sejak hari itu. Melewati hari-hari dengan menulis sesuatu yang tak ada artinya. Namun, semua itu memberiku semangat untuk melakukan sesuatu. Sebagaimana yang kau ketahui juga, masalah itu bukanlah satu-satunya masalah yang ada. Setiap hari kau mencoba mencernanya dengan pikiranmu, tiba-tiba, kau tersesat dalam kebingungan dan mendapati mereka bagai jutaan bintang yang bertaburan di langit malam. Kau tahu, ketika sinar matahari di ufuk timur mulai merekah, aku hanya bisa memandanginya. Dalam hati terbersit sebuah pemikiran, kalau saja aku bisa menyaksikan pertunjukan terhebat dari alam semesta ketika memulai hari yang baru di suatu tempat yang berbeda. Aku tak tahu dimana perbedaannya dan bagaimana rasanya. Mungkin kau telah mengalaminya jutaan kali dan hal itu tidak lagi menjadi sebuah kejutan. Perlahan, sesuatu yang hebat dan luar biasa menjadi hal biasa dan tak bermakna. Ku pikir, setiap orang memiliki kewajiban untuk menyelami hal-hal sederhana di dunia ini dengan tetap mensyukuri apa yang tersedia, agar jiwamu terjaga. Walaupun, kau tahu, manusia bukanlah spesies yang mudah menerima apa yang terlihat. Selalu menginginkan yang lebih dari pada itu. Justru, disitulah letak kehebatan manusia. Pernah suatu ketika aku tengah duduk menikmati sinar matahari sore di tepi hamparan padi yang memantulkan sinar keemasan. Angin sepoi-sepoi membelai wajah dan menerbangkan angan mengatasi gunung yang di kejauhan bagai tumpukan benda berwarna hijau tak beraturan, maaf, jika penggambaran yang ku katakan ini tidak memenuhi angan-anganmu yang tak terbatas. Setidaknya, pengalaman itu memberikan angin baru bagi jiwaku yang mulai layu. Aku melemparkan sebuah pemikiran keluar dari hatiku, tentang bagaimana dunia ini berputar dan berjalan sesuai dengan arahan tangan-tangan yang menulisnya. Tapi, adalah suatu kebodohan jika kau mencoba memahami seluruh pertunjukan ini.
Tiba-tiba, desir angin membisikan sesuatu, “Apa yang kau lakukan disini, anak muda?”
Aku terhenyak, ku pikir suara itu milik seseorang yang melintas di jalan kecil di belakangku. Aku menoleh tapi tak menjumpai seorangpun. Lalu dengan sedikit keberanian yang masih tersisa aku menjawab, “Aku mencoba memahami keindahan yang ditujukan alam padaku. Oh,betapa besar, betapa luar biasanya semua ini. Tapi, siapakah engkau?”
Ia berkata lagi, “Aku adalah angin, yang bepergian melintas ruang dan waktu. Aku baru saja melalui sebuah padang hijau dengan beberapa anak manusia asyik bermain-main dan mengucapkan syukur karena memberikan mereka perasaan tenang, tapi mereka tak mengatakan sesuatupun padaku. Ketika ku saksikan seorang manusia menatapku, aku mendekatimu, karena ku lihat wajah yang murung dan hati yang bersedih. Aku ingin sekali berbicara pada manusia, karena mereka menyimpan banyak rahasia. Lagipula, sudah lama sekali aku tidak berbicara pada manusia.”
“Kalau begitu, apa yang bisa ku katakan padamu?” kataku. “Kau tahu, terkadang kesedihan timbul tanpa sebab yang pasti. Dan tiba-tiba saja kau merasakan sesuatu yang berbeda bergejolak di dalamnya.”
“Aku tidak mengetahui segalanya, namun, aku dapat membaca hati dan pikiran setiap manusia. Hanya saja, sedikit dari mereka yang mampu menanggapi apa yang hendak ku katakan.”
“Kalau begitu, apakah kau juga mengetahui perjalanan hidupku dan impian-impian besar yang tersimpan rapi dalam pikiranku saat ini?”
“Tentu saja, aku bahkan menyaksikan kelahiranmu. Aku selalu bahagia ketika seorang manusia terlahir di dunia. Oleh karena itu aku membuka jalan bagi cahaya mentari dengan menyibakkan awan, sahabat karibku, sehingga manusia itu dapat melihat cahaya yang memberi kehidupan padanya.”
“Indah sekali.” Kataku.
“Ya, benar sekali, sebagai mana juga saat kau di lahirkan.”
“Seperti yang kau katakan tadi, dengan mengetahui banyak hal, rahasia setiap orang contohnya, apakah hal itu memberikah kebahagiaan bagimu?”
“Tidak.” Katanya. “Justru aku merasakan betapa manusia kala ini berbeda dengan manusia yang pernah ku kenal dulu. Mengerikan sekali.”
“Kenapa?” tanyaku.
“Kau tak ingin mengetahuinya.” Jawabnya.
Tak terasa, malam menjelang. Sang angin pergi entah kemana. Aku kembali ke rumah dengan perasaan senang bercampur aneh. Aku tak menyangka, manusia dapat berbicara dengan angin. Malam itu, seperti biasanya, aku duduk kembali di dalam kamarku yang sempit dengan hati berdebar-debar. Aku tahu, esok akan lebih menarik dari hari ini. Malam semakin larut, setelah makan malam, aku pergi tidur.
Cahaya pertama matahari pagi menerobos masuk ke kamarku. Hangat. Aku tak sabar ingin bertemu lagi dengan teman baruku. Rutinitas pagi seperti biasanya ku lakukan dengan semangat. Banyak hal yang kukerjakan sehingga nanti aku punya bermacam kisah yang bisa kuceritakan. Tapi, sebelum tengah hari, langit menjadi gelap dengan awan kelabu bergulung-gulung di angkasa. Membuat pemandangan menjadi menakutkan, dan titik-titik air menerjang permukaan bumi dan segala yang ada di atasnya. Aku hanya bisa memandang melalui jendela yang basah sambil berharap semoga hujan tak bertahan lama agar aku tak perlu melewatkan hari ini dalam kekecewaan. Syukurlah, beberapa jam setelahnya, sinar matahari kembali muncul berkilauan.
Sore itu, pada jam yang sama seperti kemarin, aku datang lagi ke persawahan. Kali ini sebuah buku novel di tanganku. Aku tak tahu hendak ku apakan buku itu, hanya saja, perasaanku mengatakan harus membawanya. Beberapa menit kemudian, angin sepoi berhembus. Menelisik dedaunan padi yang menguning, dan menghampiri wajahku. Aku menunggu.
“Apa kabarmu hari ini, kawan?” Aku tahu suara itu.
“Aku merasa berbeda.” Kataku.
“Senang sekali mendengarnya.”
“Kalau kau punya sedikit waktu, mau kah kau menemaniku sekedar berbincang sebentar?”
“Tentu saja.”
Aku menceritakan padanya kegiatanku hari ini dan apa saja yang telah kulalui. Ku katakan juga padanya tentang hujan lebat siang tadi.
“Oh,” katanya, “Ia tak kan menyakitimu. Sang awan sedang melaksanakan tugasnya.”
“Jadi, setiap kalian memiliki tugas masing-masing? Apakah tidak membosankan melakukan hal yang itu-itu saja, seperti menurunkan butiran-butiran air atau menghembusi berbagai belahan dunia dengan angin mu?”
“Tentu tidak. Itu sudah menjadi tugas kami. Dengan senang hati kami melakukannya karena kami mencintai manusia.”
“Tentu saja.” Kataku. “Kalian tak memiliki masalah seperti yang kami hadapi.”
“Perlu banyak belajar agar kau mengerti.” Sahutnya. “Kami memiliki masalah, namun apakah dengan masalah itu kau akan berhenti melakukan apa yang harus kau lakukan, tidak bukan?”
“Ya, kau benar sekali. Kau katakan tadi kalian mencintai manusia, lalu bagaimana dengan bencana-bencana yang terjadi waktu-waktu ini, mereka mengatakan alam sedang menunjukan kemarahannya. Bagaimana kami tahu kalau kalian memiliki cinta jika tanpa segan-segan membunuh manusia?”
Angin berhembus pelan.
“Kebanyakan manusia menyalahkan kami atas apa yang menimpa mereka.” Katanya.
Aku menanggapi, “Sudah sepantasnya.”
“Aku ingin menceritakan sebuah kisah.” Katanya. “Pada suatu ketika, seorang manusia menemukan sebuah mesin. Mereka semua berbahagia karena dengan mesin ini pekerjaan mereka menjadi lebih mudah. Selain itu, apa saja dapat mereka lakukan. Seiring berjalannya waktu, berbagai jenis mesin dan benda-benda lainnya muncul di muka bumi, sementara keinginan manusia semakin bertambah-tambah melebihi yang dapat dibayangkan sebelumnya. Keserakahan meracuni pikiran mereka. Mereka saling membunuh, saling menghancurkan dan saling menguasai. Kemudian dengan alasan meningkatkan taraf hidup, mereka mulai merambah alam; hutan-hutan dan tanah, menebangi pepohonan dan memusnahkan segala makhluk hidup di dalamnya. Bukit dan gunung-gunung yang gundul bagai orang tak berambut. Kau lihat saja, sampah-sampah bertebaran dimana-mana sehingga sungai yang bening menjadi sumber kematian. Kemudian awan melakukan tugasnya, memberi titik air bagi manusia. Sebagaimana aku, sang awan juga hanya melakukan apa yang harus ia lakukan, ketika pepohonan yang menjadi bagian penting dalam tugasnya tak ada lagi, kau tahu bagaimana akibatnya jika... Bukan kah hal itu ada dalam buku pelajaranmu, ketika penyerapan tak dimungkinkan lagi, maka segala air yang tergenang akan melanda apa saja yang dilaluinya? Mereka mengutuki kami, manusia-manusia itu.”
“Apakah kau marah dengan makian yang mereka ucapkan?”
“Aku tak tahu, kami tak memiliki emosi seperti itu. Hanya saja, terkadang manusia itu lebih bodoh dari yang dipikirkan.”
“Kenapa begitu?”
“Karena mereka mengetahui segala sesuatu, tapi keserakahan membutakan mata mereka, sehingga... kau tahu.” Ia tak melanjutkan ucapannya.
“Tapi tak semua manusia seperti itu.” Kataku berusaha membela diri.
“Tentu saja.” Ujarnya.
“Bisakah aku berkata-kata dengan sang awan?”
“Kapan saja kau mau. Ku rasa ia tengah sibuk saat ini. Kau lihat di sebelah barat, awan hitam dengan dinding kelabu hingga ke permukaan bumi.”
“Bisakah ia mendengar apa yang kita bicarakan sekarang ini?”
“Tidak, teman. Ia terlalu jauh untuk mendengar.”
Aku meletakkan buku yang ku bawa di sampingku. “Kau tahu buku ini?” kataku.”Aku membaca di dalamnya tentang seorang pemuda yang berbicara pada angin di padang gurun.”
“Ya, aku mengenal pemuda itu.”
“Benarkah?” kataku tak percaya.
“Tentu, kejadian itu sudah sangat lama.”
Aku terdiam, hati ku mengatakan sesuatu tentang pujian. “Kau baik sekali.” Katanya seolah membaca pikiranku. “Oh, aku melupakan sesuatu, kau dapat membaca pikiran manusia.”
“Apakah kita dapat berteman selamanya?” kataku.
“Selama yang kau inginkan. Selama kau memberi waktu untuk mendengarkan suara hatimu.
”Kenapa begitu?”
“Karena hatimu adalah sumber kehidupan. Ia merupakan roh TUHAN yang tinggal dalam manusia.”
“Tapi bagaimana jika hatiku mengatakan sesuatu yang jahat?”
“Itu pikiranmu yang bertindak seolah ia adalah suara hati.”
“Aku tak mengerti.”
“Kau akan mengerti pada waktunya nanti.”
“Apakah kau melihat seorang manusia ketika ia mati?”
“Selalu.”
“Bagaimana?”
“Kami akan menangis dan sang awan akan menurunkan hujan karena kesedihannya. Namun kami juga berbahagia, karena orang itu telah menyelesaikan tugasnya dimuka bumi dan ia kembali kepada sang Penciptanya.”
“Sudah berapa lama kau di sini?”
“Sejak dunia diciptakan.”
Sejak hari itu, aku selalu melewatkan hari berbicara padanya. Semua orang memandangku dengan tatapan aneh saat aku menyusuri jalanan sempit menuju rumahku. Mereka berbisik-bisik. Ku dengar sekilas, mereka mengatakan aku gila atau orang yang menyedihkan, dan yang lain mengatakan aku terlalu banyak berpikir sehingga kehilangan kesadaran.
Aku tak perduli apa yang mereka pikirkan tentangku. Mereka tak memiliki yang ku miliki. Angin pernah mengatakan, menjalani hidup butuh keberanian. Apapun yang kau lakukan, selalu ada pengalaman baru. Mungkin dengan begitu, aku harus melupakan perjalanan yang pernah ku rencanakan dan membiarkan Rencana Besar itu terbang bersama angin. Karena kini, aku dapat pergi kemana saja melalui pikiranku.
Uncle Sam
Seorang pria bertubuh jangkung dan berkulit pucat duduk di hadapan sebuah meja tulis. Kepalanya menunduk ditopang lengannya yang panjang dan kurus. Punggungnya melengkung seperti udang. Buku tebal terbuka dihadapannya. Entah sudah beberapa lama ia berada di tempat itu; satu jam, dua jam, atau bahkan seharian. Ia tak bergeming hingga bayangannya mematung di dinding yang dipenuhi potongan koran, majalah dan gambar-gambar aneh lainnya. Beberapa saat berlalu dalam keheningan, pria itu meluruskan tubuhnya sambil mengarahkan pandangannya ke luar jendela, mengangkat kedua lengannya ke udara. Ia menguap dan mengosok-gosok wajahnya. Ia tertegun mendengarkan desau angin; suara kendaraan-kendaraan yang melintas di jalan raya, hiruk-pikuk tetangga dengan kesibukan mereka masing-masing, dan kicauan burung-burung ditengarai gemuruh pesawat yang terbang rendah. Sinar keemasan memantulkan biru langit cemerlang dan awan putih bagai percikan cat bertebaran di sana sini.
Ketukan keras menggema di ruangan itu. Wajah persegi kemerahan berdiri di depan pintu yang terbuka, seorang pria yang menenteng gitar bergegas melangkah masuk. Sinar matanya terang dan riang diiringi sebuah senyuman mengembang dibibirnya.
“Hey, Tom, kau kemana, kenapa tak datang?” kata pria itu seraya meletakkan duduknya di atas kursi. “Semua orang mencari-carimu.”
“Aku tidak kemana-mana kok.” Kata Tom. “Aku lagi tidak mood mau keluar.”
“Sayang sekali. Kami baru saja menikmati pesta kecil di taman. Mereka menantimu dengan puisi-puisi yang mendayu-dayu itu. Tapi kau tak menunjukan batang hidungmu.”
“Aku lagi tak ingin kemana-mana. Lagi pula, apa yang mereka harapkan? Mereka hanya tahu bersenang-senang, menghabiskan waktu untuk hal-hal yang tidak berguna.”
“Kau baik-baik saja?”
“Apa aku terlihat seperti sedang tidak baik?” ujar Tom.
“Mana ku tahu. Selama beberapa hari ini kulihat kau sibuk dengan buku-bukumu, lebih sering ku lihat kau termenung. Sedang bermasalah dengan pacarmu?”
“Ah, pacar? Apa kau pernah melihatku bersama seorang gadis?”
Ia tersenyum sembari menggeleng-geleng.
“Luar biasa.” Katanya.
“Apa?”
“Ah, tidak. Cukup aneh. Kurasa kau orang paling aneh yang pernah ku kenal.”
“Terkadang aku juga ingin seperti orang-orang lain. Menikmati kehidupan yang sebenarnya. Menikmati senja di taman, atau menerima undangan ulang tahun dan pernikahan. Sehingga ketika kau hendak pergi tidur pada malam hari, pikiranmu merasa tenang dan puas bahwa kau pernah mengalami masa-masa indah bersama seseorang. Aku sudah mencobanya berkali-kal, tetap saja aku tak bisa. Malahan aku terlihat seperti orang dungu yang berdiri bagai patung bisu di sudut gelap. Memalukan sekali. Tapi sekarang, tak ada yang lebih menyenangkan dari pada menyendiri.”
“Setidaknya kau sudah berusaha. Cobalah lagi lain waktu. Dan ku rasa kau perlu melakukan hal yang berbeda. ”
“Frans, apa yang kau cari?” kata Tom.
Pria itu memalingkan wajahnya pada Tom dengan kerutan di keningnya.
“Maksudmu?”
“Ya, maksudku, apa yang kau cari?”
“Disini?”
“Bukan. Dalam hidupmu.”
“Aneh sekali. Tentu saja aku kuliah. Setelah itu bekerja dan bila cukup beruntung, aku akan menikahi gadis tercantik dan terkaya di jagat raya ini dan memiliki perusahaan konstruksi sendiri.”
“Itu saja?”
“Untuk saat ini, ya. Kenapa memangnya? Bukankah itu rencana terhebat yang pernah muncul dalam benak seorang lelaki?”
“Ya, terkadang aku berpikir apapun yang kau lakukan dalam kehidupan, semua itu hanyalah hal yang sia-sia.” Ujar Tom.
“Kenapa kau bisa berpikir seperti itu?”
“Ya, karena apapun yang kau lakukan, bagaimanapun keadaanmu pada akhirnya akan mengalami hal yang sama. Kematian. Seluruh hidupmu dan perbuatanmu hanya akan menjadi debu yang menghilang diterpa angin dan tempatmu di dunia ini digantikan oleh orang-orang lain yang bahkan tak mengenalmu sama sekali.. Lalu kau menjadi sebuah kisah tak penting meski aku belum tahu kenapa kita harus ada disini. Setiap manusia seharusnya memiliki satu impian besar dalam hidupnya.”
“Mungkin kau benar. Tapi beginilah kehidupan. Kau hidup, lahir, melakukan segala sesuatu yang kau bahkan tak tahu untuk apa. Tapi tentu semua yang terjadi memiliki tujuan, hanya saja saat ini kita belum memahaminya.”
“Ya, mungkin saja. Tapi, coba pikirkan.” Kataku meyakinkan. “Orang-orang yang terkenal; pemikir hebat dengan filsafat yang rumit, penulis, pemusik, bahkan pemimpin dunia yang berjaya pada masanya, kau lihat sekarang, apa yang tersisa dari mereka?”
“Nama, mungkin.” sahut Frans. “Kurasa itu hal yang sepadan, bukankah mereka dikenang hingga saat ini?”
“Tentu saja, tapi menurutku ada hal yang lebih dari pada itu. Aneh juga mengenang seseorang karena kebodohan yang pernah ia lakukan, atau kekejaman dan lain sebagainya. Lagi pula uang, kekayaan, nama yang masyhur tak menjamin kebahagiaan. Uang bukanlah satu-satunya sumber kebahagiaan, ia hanya alat yang digunakan orang-orang untuk menciptakan hal-hal yang menyenangkan. Dan kau bilang uang dapat membuat orang berbahagia?”
“Aku tak bilang begitu, tapi aku pernah membaca di internet mengenai orang-orang yang mampu bertahan hidup tanpa uang sama sekali. Aku tak dapat memahami pemikiran mereka, bagaimana mungkin orang bisa hidup tanpa uang? Apalagi di zaman seperti saat ini. Aneh sekali. Tidak. Tanpa uang segala sesuatunya menjadi sangat rumit.” Kata Frans.
“Bagus sekali, kau mulai menunjukan kecerdasanmu.”
Frans mengangguk-angguk.
“Kau, apa yang kau cari?” katanya lagi.
“Aku sedang mengusahakannya. Aku ingin menjadi orang yang mengerti kehidupan terlepas dari kenikmatan dunia dan tetek bengeknya. Kau tahu, setiap orang perlu menjadi bodoh sebelum ia pandai. Dan beberapa kebodohan lain lagi agar ia mencapai titik kedewasaan.”
“Lantas bagaimana dengan impian terbesar itu?”
“Aku belum tahu. Aku tengah mencoba memahami semua yang terjadi.”
Frans menghela nafas seraya menatap sekeliling kamar yang dipenuhi buku dan kertas berserakan di rak buku, meja dan lantai.
“Tom, kau perlu sedikit udara segar.”
“Apa kau bilang?”
“Kubilang, kau benar-benar harus melihat dunia luar. Sudah hampir dua minggu lamanya kau berada dirumah terus. Keluarlah sekali-sekali. Lihatlah dunia dan kehidupannya secara langsung. Kau bisa pergi menonton bioskop, atau bersantai dikedai-kedai ditepian jalan itu. Siapa tahu, diluar sana, kau akan bertemu gadis-gadis cantik dan hal-hal menarik lainnya. Bersenang-senanglah.”
“Tak ada hal yang menarik bagiku diluar sana.”
“Aku tahu, tapi tak tersentuh matahari dalam waktu yang lalma dapat mengganggu kesehatan fisik dan mental.”
“ Jadi kau bilang aku gila?”
“Ya, mungkin saja dalam beberapa minggu ke depan.”
“Baiklah. Ku rasa kau benar juga, aku mulai bosan berada di rumah terus-terusan.” Kata Tom.
“Ya, setidaknya kau bisa menyegarkan pikiran dan meluaskan pandanganmu.”
“Frans, kau tahu dimana tempat membeli peralatan berkemah?”
“Aku tak tahu, kau tanya saja pada orang-orang dijalan.”
Tom meraih jaket yang tergantung dibalik pintu dan menutupi kepalanya dengan topi. Lantas berjalan menuju pintu.
“Kau mau kemana?”
“Seperti katamu, aku mau mencari udara segar.”
“Bagus kalau begitu. Nanti aku menyusul. Ada tempat minum baru di sudut jalan sana.”
“Ah, aku sedang diet gula.”
“Lantas, kemana?”
“Perpustakaan.” Katanya seraya berlalu.